Merayakan Maulid Dapat Datangkan Syafaat Nabi? Berikut Ini Dalilnya

- 14 Oktober 2020, 05:54 WIB
Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam
Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam /pixabay/matponjot

GALAJABAR - Pada Kamis 29 Oktober 2020 mendatang, sebagain umat muslim Indonesia merayakannya sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang biasa disebut Maulid Nabi.

Dalam kalender hijriah, Maulid Nabi jatuh pada pada hari ke-12 bulan ketiga Islam Rabi’ul-awwal.

Meski telah berlangsung sejak zaman dahulu, perayaan Maulid Nabi masih menimbulkan polemik.

Baca Juga: Harga Emas Antam Hari Ini, Rabu 14 Oktober 2020 Turun Signifikan, Saatnya Ivestasi

Situs nu.go.id menulis, ada sebagian kalangan menyebut, orang yang merayakan maulid Nabi tidak layak mendapatkan syafaat. Mereka mengatakan bahwa yang mendapatkan syafaat Nabi adalah orang-orang yang men-tauhid-kan Allah.

Pendapat mereka berlandaskan pada hadits Nabi ﷺ:

“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh, beliau berkata, Ya Rasulallah siapa orang yang paling beruntung mendapatkan syafaatmu di hari kiamat? Nabi menjawab, wahai Abu Hurairah, sungguh aku menduga belum ada seorang pun yang bertanya sebelum kamu yang menanyakan hal tersebut, karena aku mengetahui kecintaanmu kepada hadits. Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang berkata Lâ ilâha illa Allâh dengan tulus dari hatinya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya)

Baca Juga: Lokasi SIM Keliling Online Polrestabes Bandung, Rabu 14 Oktober 2020

Dalam hadits tersebut, menurut mereka, tidak menyebutkan orang yang merayakan maulid, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang mendapatkan syafaat adalah orang yang bertauhid, bukan orang yang merayakan maulid. Benarkah anggapan demikian?

Merayakan maulid merupakan luapan kegembiraan atas terlahirnya Nabi Muhammad ﷺ di dunia. Bergembira atas kelahiran Nabi manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang beriman, namun juga oleh non-Muslim.

Di setiap hari Senin, Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia senang atas kelahiran Nabi. Bahkan Abu Lahab memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah al-Aslamiyyah untuk menyusui Nabi.

Baca Juga: Cristiano Ronaldo Menambah Daftar Panjang Atlet Terpapar Covid-19

Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan:

“Urwah berkata, Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Ia dimerdekakan oleh Abu Lahab, untuk kemudian menyusui Nabi. Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi bahwa Abu Lahab mendapatkan siksa yang buruk. Di dalam mimpi itu, Abu Lahab ditanya. Apa yang engkau temui? Abu Lahab menjawab, aku tidak bertemu siapa-siapa, hanya aku mendapatkan keringanan di hari Senin karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah.”

Baca Juga: Kemenag Harus Memperjuangkan Masyarakat agar   Bisa Beribadah  Haji dan Umrah

Hadits ini juga disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, al-Imam Abdur Razzaq dalam kitab al-Mushannaf, al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail, al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah, al-Hafizh al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, Ibnu Hisyam al-Suhaili dalam al-Raudl al-Anuf, dan al-Imam al-‘Amiri dalam Bahjah al-Mafahil.

Meski merupakan hadits mursal, namun hadits ini tetap dapat diterima riwayatnya, sebab al-Imam al-Bukhari sebagai pakar hadits yang otoritatif mengutipnya dalam kitab al-Shahih.

Demikian pula para ulama, para penghafal hadits berpegangan pada riwayat tersebut. Di sisi yang lain, hadits tersebut tidak berbicara halal-haram, namun berkaitan dengan sejarah, sehingga tetap bisa dibuat hujjah.

Baca Juga: Menteri BUMN, Erick Thohir: Merger Bank BUMN Syariah Bisa Membuat Indonesia Jadi Pusat Ekonomi

Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menegaskan:

“Meski riwayat ini mursal, namun dapat diterima, karena al-Bukhari mengutipnya, ulama dari kalangan huffazh (penghafal hadits) juga berpegangan dengan riwayat ini, dan karena riwayat ini menjelaskan manaqib dan kekhasan seseorang, bukan urusan halal-haram. Para penuntut ilmu tentu mengetahui perbedaan antara mengambil dalil hadits di antara tema manaqib dan hukum.”

(Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.14).

Namun, merayakanan atau tidak, mentauladani Nabi Muhammad SAW merupakan kewajiban bagi umat muslim.***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x