Pemuda Indonesia Makin Ogah Menikah, Apa Sih Sebabnya?

Tayang: 7 Maret 2024, 13:53 WIB
Penulis: Julkifli Sinuhaji
Editor: Tim GalaJabar
Ilustrasi.
Ilustrasi. /Pixabay/StockSnap


GALAJABAR -
Selama satu dekade terakhir, angka pernikahan pemuda di Indonesia turun sebanyak 1,51 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terungkap dari data Badan Pusat Statistik (BPS).

Pada 2023, Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka pernikahan terbanyak, 317.175 pernikahan, diikuti Jawa Timur 285.189 pernikahan, dan Jawa Tengah 256.144 pernikahan, seperti dikutip dari Pikiran-rakyat.com, Kamis, 7 Maret 2024.

Adapun perkawinan paling rendah adalah Papua Selatan, cuma 871 pernikahan. Selanjutnya, Papua Tengah 896 pernikahan dan Papua Barat 1.113 pernikahan. Di Papua Pegunungan, tak tercatat adanya pernikahan di sepanjang tahun itu. Padahal, sepuluh tahun sebelumnya, 2013, angka pernikahan orang Indonesia cukup tinggi. Kala itu jumlahnya mencapai 2,21 juta.

Per 2022, persentase pemuda yang belum menikah baik lelaki maupun perempuan mencapai 64,56 persen dari total 65,82 juta pemuda, naik 3,47 persen dibanding tahun sebelumnya. Cuma 34,33 persen pemuda yang sudah menikah, turun 3,36 persen dari tahun sebelumnya. Mayoritas pemuda yang belum menikah berasal dari Jakarta.

Apa sebab pemuda Indonesia ogah menikah?

Menurut jurnal bertajuk Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia (2022) karya Indira Setia Ningtias dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) disebutkan, kondisi penurunan angka perkawinan lantaran dilatarbelakangi berbaya9 aspek.

"Dewasa ini masyarakat memiliki banyak hal yang ingin diraih, baik itu pria maupun wanita. Karier, kesuksesan, pendidikan, menjadikan masyarakat muda tidak berfokus hanya pada berumah tangga," katanya.

Tingginya tingkat perceraian meniadi salah satu penyebab pemuda mempertimbangkan untuk keputusan menikah.

Pandemi Covid-10 juga mempengaruhi turunnya angka pernikahan orang Indonesia. Kebijakan pemerintah saat pagebluk yang membatasi masyarakat berkerumun menjadikan masyarakat lebih memilih untuk menunda pernikahan sampai pemberlakuan pembatasan akhir.

Selain itu, implementasi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 yang berpengaruh terhadap peningkatan usia menikah menjadi 19 tahun juga turut andil. Indira juga menyebutkan, pernikahan secara siri juga memengaruhi turunnya angka pernikahan, lantaran pernikahan siri tidak tercatat.

Perempuan justru menunda pernikahan

Dalam artikel bertajuk Resesi Seks dan Waithood: Mengapa Banyak Perempuan Pilih Menunda Menikah? yang ditulis dosen Sosiologi Islam Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, Musahwi, yang tayang di The Conversation disebutkan, perempuan Indonesia mulai menunda menikah pada usia matang.

"Ini sebagian besar dapat dimaknai bahwa hasrat seks dan memproduksi keturunan dengan seorang laki-laki dalam rumah tangga bagi perempuan mulai bergeser," katanya.

Ada empat alasan utama perempuan milenial menunda pernikahan, yakni:

1. Identitas digital masyarakat

Pengaruh digitalisasi di Indonesia pada kehidupan masyarakat telah memberi ruang publik bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Wacana kebebasan perempuan untuk memilih antara peran domestik, kosmopolitan atau menjalani keduanya, sekaligus mendobrak stereotip perempuan yang kerap dicap 'kaum terbungkam'.

Musahwi juga bilang, pengetahuan membuat pola pikir mereka menjadi lebih luas dan terbuka dalam memaknai hidup dan membentuk 'kuasa' atas kontrol dirinya sendiri. Ini menjadikan mereka lebih mandiri dan terbuka berbagai dengan pilihan hidup, termasuk menunda menikah.

2. Beban sebagai sandwich generation

Musahwi mengungkapkan, suatu studi menyebutkan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab paling masuk akal berkembangnya fenomena waithood. Sebab, kondisi ekonomi global yang terus merosot telah memicu kekhawatiran terhadap kesenjangan kondisi keuangan seseorang ketika sudah menikah.

Apalagi jika posisi perempuan dalam keluarga adalah sebagai tulang punggung finansial. Situasi sandwich generation membuat tidak sedikit perempuan yang melupakan sejenak prioritas untuk menikah.

3. Berpendidikan dan bekerja: bentuk kontrol diri perempuan

Menurut Laporan BPS tahun 2021, persentase data pendidikan yang signifikan antara lelaki dan perempuan. Perempuan 15 tahun ke atas bahkan memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak dibanding lelaki.

Sekira 10,06 persen perempuan telah menamatkan di jenjang perguruan tinggi, sedangkan lelaki 9,28 persen. Terbukanya akses pendidikan bagi perempuan membuat mereka bisa meraih status sosial dan ekonomi yang mampu memberikan kuasa atas hidupnya. Orientasi perempuan pada pendidikan tak jarang membuat mereka menganggap pernikahan bukan prioritas hidup, sehingga mereka berani memutuskan untuk menunda atau tidak menikah.

Berdasarkan studi, melanjutkan karier merupakan salah satu alasan perempuan untuk menunda menikah. Hal itu lantaran perempuan merasa lebih leluasa mengejar karier tanpa ada beban dan tanggung jawab dalam ikatan pernikahan. Lebih memilih meniti karier dan menunda pernikahan bisa termasuk dalam upaya perempuan menyiapkan kesiapan sosial ekonomi mereka sebelum memasuki pernikahan nantinya.

4. Trauma masa lalu, KDRT dan perceraian

Studi menunjukkan, kekecewaan terhadap suatu hubungan pernikahan juga bisa menjadi alasan perempuan dewasa menunda menikah. Misalnya, mereka lahir dan besar dari keluarga yang tidak harmonis atau lingkungan sosial yang hanya memperlihatkan sisi buruk pernikahan.

Musahwi bilang, selain kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, kasus perceraian juga mendorong kekhawatiran perempuan untuk menikah. Dengan memilih untuk menunda menikah, banyak perempuan yang merasa bisa lebih mengembangkan kualitas diri dan menyiapkan kemandirian diri secara emosional dan finansial. Itulah alasan mengapa angka pernikahan di Indonesia semakin turun. Dalam dasawarsa terakhir, tahun 2023 menjadi tahun dengan angka pernikahan paling rendah.***


Tags

Terkini

Trending

Berita Pilgub