Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 34)

8 Juni 2021, 08:18 WIB
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, seisi istana disibukkan dengan persiapan proses eksekusi Tsukiyama sejak pagi buta. Sebelum eksekusi, Tsukiyama memastikan keadaan kedua anaknya terlebih dahulu.

Setelahnya, ia meminta pada Jenderal Tadatsugu untuk menyampaikan pesan pada Putri Toku. Ia ingin sang putri ada untuk melihat saat terakhirnya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Baca Juga: Sinopsis Buku Harian Seorang Istri 8 Juni 2021: Rencana Baru Kevin-Alya Salah Sasaran ke Livia

Kimono putih dan bersih yang membalut tubuhnya kembali jatuh hingga ke mata kaki saat ia berdiri. Tsukiyama menatap ruangannya untuk terakhir kali sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan tersebut dan tak akan pernah kembali. Napasnya sedikit berat saat mengingat semua kenangan yang ia miliki dalam ruangan tersebut.

Setelah cukup untuk mengingat kenangan-kenangan baik dan buruknya, dua orang pelayan segera membukakan pintu ruangan tersebut, menganggap itu akan jadi terakhir kalinya mereka melayani permaisuri atau istri sah dari tuan mereka.
Baru saja ia melangkah dan berniat untuk menuruni tangga, Tsukiyama mendapati sesosok wanita berkimono hitam sedang menggendong bayinya. Ia tahu wanita itu berusaha untuk menunjukan bela sungkawanya.

Baca Juga: 18 Orang Tewas Akibat Kebakaran di Sebuah Pabrik Bahan Kimia di India

“Ayunda… Tsukiyama,” lirih wanita itu.

“Masako,” balas Tsukiyama pada wanita yang ternyata adalah Nyonya Saigo, selir kesayangan sang suami.

Tsukiyama menatap bayi Hidetada yang tertidur di pangkuan ibunya. Ia tersenyum karena tiba-tiba mengingat Nobuyasu saat masih bayi.

“Ayunda, aku minta maaf,” lirih Nyonya Saigo lagi.
Tsukiyama menggelengkan kepalanya.

Baca Juga: Ingin Membuat NA? Berikut Ini Cara dan Langkah-langkahnya

“Kau tidak perlu meminta maaf. Aku yang harusnya mengucapkan kata-kata itu. Aku meminta maaf padamu, Masako. Aku meminta maaf atas segala keegoisan dan sifat kekanak-kanakanku.”

“Tidak! Ayunda tidak perlu meminta maaf seperti itu! Aku-”
“Shh, sudahlah, Masako,” Tsukiyama memotong kalimat Nyonya Saigo.

Tsukiyama tersenyum tipis dan pahit, menyadari segala kesalahannya terhadap Nyonya Saigo. “Aku tahu aku tidak pantas meminta ini padamu. Kau sempat menjadi orang yang paling aku benci dalam klan, tapi aku tidak bisa meminta hal semacam ini pada orang lain. Meski tidak pantas, aku rela membuang harga diriku karena aku hanya bisa memohon padamu,” tutur Tsukiyama dengan senyuman khas keibuannya.

Baca Juga: Rocky Gerung Sebut 2 Tahun Lagi Politik Indonesia Akan Diasuh oleh Oligarki dan Lembaga Survei

Tsukiyama pun menatap Nyonya Saigo yang mendengarkannya dengan seksama.

“Aku memohon padamu, tolong jaga kedua anakku untukku. Tidak perlu terlalu dekat hingga itu bisa menyusahkan, tapi aku ingin setidaknya mereka masih merasakan kehangatan sosok seorang ibu. Aku tahu ini sangat merepotkanmu, Masako, tapi aku tidak bisa meminta ini pada Nishigori, Kotoku, atau yang lain. Kau adalah wanita yang paling dekat dengan Ieyasu, jadi aku mohon padamu. Apa itu diperbolehkan?”

Nyonya Saigo yang berusaha untuk tidak menangis pun akhirnya mengangguk. “Aku anggap itu sebagai wasiat darimu, Ayunda.”

Baca Juga: Gisel Beri Nama Kuda Serupa Nama Istri Nabi Muhammad, Gus Umar: Tak Punya Adab!

Tsukiyama tersenyum dan memeluk Nyonya Saigo. “Terakhir, aku titipkan Ieyasu padamu, Masako,” bisik Tsukiyama lembut sebelum ia menarik diri dari pelukan tersebut. Nyonya Saigo pun tersenyum dan mengangguk. Tsukiyama mengecup lembut pelipis Hidetada yang tertidur.

“Nyonya, kita mulai terlambat,” lapor seseorang.

Tsukiyama berbalik untuk melihat ajudannya, Junpei yang sudah menunduk. Tsukiyama tersenyum. “Jadi ini yang terakhir, ya? Junpei.”

Mendengar namanya jatuh dari bibir tuannya, Junpei segera menjatuhkan satu lututnya di hadapan Tsukiyama, memberi hormat mungkin untuk yang terakhir kalinya. “Nyonya,” lirih Junpei.

Baca Juga: Terbukti! Inilah Deretan Artis Indonesia dengan Haters Paling Banyak, Rata-rata Penyanyi Dangdut?

“Aku sudah meminta ini padamu tapi, aku akan memintanya sekali lagi. Bersediakah kau membantu pekerjaan putriku dan menjaganya? Bersediakah kau untuk terus bersumpah setia pada klan ini dan membantu klan dengan baik layaknya kau membantuku?” tanya Tsukiyama.

Junpei langsung mengangkat kepalanya dan menatap Tsukiyama.

“Mengapa Anda berbicara seperti itu?! Anda tidak perlu meragukan kesetiaan saya! Bahkan setelah ini,” Junpei kesulitan melanjutkan kata-katanya.

“Bahkan setelah ini, hidup saya tetaplah milik Anda, Nyonya! Orang yang telah menyelematkan saya dan keluarga saya. Saya tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membalas kebaikan Anda!”

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Rezim Jokowi Korupsi Kian Meluas, Gus Nadir: Ada Kekuatan yang Melebihi Presiden

Tsukiyama tersenyum. “Kesetiaanmu adalah apa yang klan ini butuhkan, Junpei. Aku ingin kau terus mengabdikan dirimu pada klan ini dan itu sudah cukup bagiku.”

“Saya,” lirih Junpei lagi. “Saya senang bisa melayani Anda hingga saat terakhir Anda!” suara sang ajudan pun pecah.

“Junpei, bangkit dan tatap aku,” pinta Tsukiyama lembut. Junpei mengikuti perintah Tsukiyama.

Tsukiyama pun tersenyum. “Aku juga senang bisa memiliki pengikut dan ajudan sesetia dirimu.” (Penulis: Sadrina Suhendra)***

Editor: Noval Anwari Faiz

Tags

Terkini

Terpopuler