Jenderal Tadatsugu tidak menjawab, membuat Tsukiyama ragu akan pertanyaan sendiri. Namun, Tsukiyama berusaha untuk tersenyum. “Tadatsugu, jika bisa, aku ingin Putri Toku melihat saat terakhirku. Aku tidak akan memaksa, tapi biar kematianku ini jadi pelajaran untuk banyak orang, termasuk untuknya.”
Jenderal Tadatsugu tidak kuasa melihat senyuman hangat seorang ibu yang sebentar lagi akan kehilangan nyawanya. Ia pun menunduk. “Baik, Nyonya.”
Setelah mendapat izin dari Ieyasu, Tadatsugu segera menyampaikan pesan Tsukiyama tersebut pada Nobunaga dan Putri Toku yang bermalam di luar Istana Tokugawa.
“Nyonya Tsukiyama ingin aku ikut hadir?” tanya Putri Toku berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri setelah menerima pesan tersebut.
“Benar, Putri,” jawab si pengantar pesan.
Putri Toku langsung menatap ayahnya yang nampak tidak tertarik dengan pesan tersebut, meminta keputusan yang tepat.
Nobunaga meneguk tetesan terakhir anggur berasnya.
“Kalau kau tidak mau datang atau ketakutan, kau tidak perlu hadir. Toh, Tsukiyama tidak memaksamu. Tapi,” Nobunaga terdiam sejenak. “Kau yang memintaku untuk mengirimkan malaikat maut itu. Tidakkah sebaiknya kau hadir untuk memastikan keinginanmu berjalan dengan lancar? Bagaimana pun juga, kau yang akan bertanggungjawab atas kematiannya nanti.”
Kata-kata dan tatapan menusuk dari ayahnya membuat Putri Toku menelan ludahnya. “B-Baiklah. Beritahu Nyonya Tsukiyama aku akan hadir dalam proses eksekusi tersebut bersama ayahku.”