Ini 9 Negara yang Terancam Bangkrut Seperti Sri Langka, Apakah Indonesia Termasuk Salah Satunya?

- 11 Juli 2022, 16:08 WIB
Sri Langka Bangkrut!
Sri Langka Bangkrut! /Ilustrasi/Pixabay

GALAJABAR - Perdana Menteri (PM) Sri Langka Ranil Wickremesinghe pada Selasa, 5 Juli 2022 mengatakan bahwa Sri Langka bangkrut. Kebangkruran terjadi saat negara itu menderita krisis keuangan terburuk dalam beberapa dasawarsa dan membuat jutaan orang berjuang keras untuk bisa membeli makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

Wickremesinghe mengatakan kepada anggota parlemen bahwa negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menghidupkan kembali ekonomi negaranya kini menjadi sulit karena telah memasuki pembicaraan sebagai negara bangkrut. Bukan lagi negara berkembang.

Namun Sri Langka bukan satu-satunya negara yang berada dalam masalah serius karena harga makanan, bahan bakar, dan bahan pokok lainnya melonjak dengan perang di Ukraina.

Lonceng alarm yang sama juga berdering untuk banyak ekonomi di seluruh dunia, mulai dari Laos dan Pakistan hingga Venezuela dan Guinea.

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film Horor Thailand yang Bisa Bikin Gak Bisa Tidur dan Bikin Sport Jantung!

Menurut laporan Kelompok Tanggap Krisis Global dari Sekretaris Jenderal PBB, sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistem keuangan. Sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara dengan "badai sempurna" dan sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah krisis jangka panjang lainnya.

Penyebab pasti kesengsaraan mereka bervariasi, tetapi semua berbagi risiko yang meningkat dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar, didorong oleh pandemi Covid-19 serta terbaru perang Rusia melawan Ukraina.

Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa pendapatan per kapita di negara berkembang akan menjadi 5% di bawah tingkat pra-pandemi tahun ini.

Berikut adalah beberapa negara yang berada dalam krisis ekonomi dengan risiko terbesar, melansir Associated Press, Senin, 11 Juli 2022.

Baca Juga: Pusat Perjudian Terbesar Dunia 'Makau' Kembali Menutup Seluruh Kasino Demi Menekan Penyebaran Virus Covid-19

  1. Afghanistan

Afghanistan sudah terguncang krisis ekonomi buruk sejak Taliban berkuasa di negara itu sejak tahun lalu. Taliban kembali berkuasa seiring kebijakan Washington dan sekutu NATO yang menarik pasukannya dari Afghanistan.

Bantuan asing yang selama ini menjadi penopang ekonomi Afghanistan pun terhenti. Berbagai pemerintahan juga memberlakukan sanksi, menangguhkan transfer bank, melumpuhkan perdagangan, serta menolak mengakui pemerintahan Taliban.

Pemerintahan Amerika bahkan membekukan 7 miliar dolar AS cadangan mata uang asing Afghanistan yang berada di AS.

Sekitar setengah populasi Afghanistan terancam kekurangan pangan yang parah dan kebanyakan pekerja publik, termasuk dokter dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.

Baca Juga: RESMI DIKBUKA! Berikut Ini Cara Mendaftar Kartu Prakerja Gelombang 36

  1. Argentina

Sekitar empat dari 10 warga Argentina dalam kondisi miskin dan bank sentral di Buenos Aires kekurangan cadangan devisa di tengah melemahnya mata uang negara itu.

Inflasi di Argentina pun diproyeksikan melampaui 70 persen pada 2022. Jutaan warga Argentina dilaporkan mengandalkan dapur umum dan program-program kesejahteraan masyarakat yang disokong gerakan sosial kuat yang terkait partai berkuasa saat ini.

Belakangan ini, kesepakatan Buenos Aires dengan IMF untuk merestrukturisasi 44 miliar dolar AS utang luar negeri dipertanyakan atas konsesi yang dikritik justru menghalangi pemulihan ekonomi.

Baca Juga: Sukses Usai tampil di Java Jazz Festival, Jaz Hayat Bakal Gebrak Bandung, 15 Juli Ini

  1. Mesir

Tingkat inflasi Mesir melonjak hampir 15% pada April, menyebabkan kemiskinan bagi hampir sepertiga dari 103 juta penduduknya. Mereka sudah menderita dari program reformasi ambisius yang mencakup langkah-langkah penghematan menyakitkan seperti floating mata uang nasional dan pemotongan subsidi untuk bahan bakar, air, dan listrik.

Bank sentral menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang, menambah kesulitan dalam membayar utang luar negeri Mesir yang cukup besar. Cadangan devisa bersih Mesir pun telah.

Tetangganya, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan US$ 22 miliar dalam bentuk deposito dan investasi langsung sebagai bantuan.

Baca Juga: Israel Bakal Selidiki Laporan Kuburan Massal Tentara Mesir Wilayahnya

  1. Laos

Laos merupakan salah satu negara dengan perkembangan ekonomi tercepat sebelum pandemi. Tingkat utang luar negeri Laos meningkat.

Seperti Sri Lanka, Vientiane kini tengah berbicara dengan kreditur tentang bagaimana membayar utang miliaran dolar AS mereka.

Isu pembayaran utang luar negeri Laos terhitung mendesak, mengingat lemahnya keuangan pemerintah. Menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos setara atau kurang dari nilai impor selama dua bulan.

Depresiasi mata uang Laos hingga 30 persen memperburuk keadaan. Juga, harga-harga yang melambung serta tingkat pengangguran karena pandemi memperparah kemiskinan.

Baca Juga: Tak Lolos ke Semifinal Piala AFF U-19, Posisi Shin Tae-yong Sebagai Pelatih Tetap Aman

  1. Myanmar

Pandemi dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah tentara merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.

Hal itu membawa sanksi Barat yang menargetkan kepemilikan komersial yang dikendalikan oleh tentara, yang mendominasi ekonomi. Ekonomi mengalami kontraksi sebesar 18% tahun lalu dan diperkirakan hampir tidak tumbuh pada tahun 2022.

Lebih dari 700.000 orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka oleh konflik bersenjata dan kekerasan politik. Situasinya sangat tidak pasti, pembaruan ekonomi global baru-baru ini dari Bank Dunia mengecualikan proyeksi bagi Myanmar untuk 2022-2024.

  1. Pakistan

Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan mendesak dengan IMF, berharap untuk menghidupkan kembali paket dana talangan US$ 6 miliar yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan digulingkan pada bulan April.

Baca Juga: Jadwal Final Malaysia Masters 2022: Mulai Pukul 12.00 WIB, All Indonesian Final Digelar Terakhir

Melonjaknya harga minyak mentah mendorong naiknya harga bahan bakar yang pada gilirannya menaikkan biaya lainnya, mendorong inflasi hingga lebih dari 21%. Seruan seorang menteri pemerintah untuk mengurangi minum teh guna mengurangi tagihan US$ 600 juta untuk teh impor membuat marah banyak orang Pakistan.

Mata uang Pakistan, rupee, telah jatuh sekitar 30% terhadap dolar AS pada tahun lalu. Untuk mendapatkan dukungan IMF, Perdana Menteri Shahbaz Sharif telah menaikkan harga bahan bakar, menghapuskan subsidi bahan bakar dan memberlakukan "pajak super" baru 10% pada industri-industri besar untuk membantu memperbaiki keuangan negara yang kembang kempis.

Pada akhir Maret, cadangan devisa Pakistan telah turun menjadi US$ 13,5 miliar, setara dengan hanya dua bulan impor.

  1. Turki

Memburuknya keuangan pemerintah dan meningkatnya defisit neraca perdagangan dan modal telah memperparah masalah Turki dengan utang yang tinggi dan meningkat. Inflasi pun melambung di atas 70% dengan tingkat pengangguran yang tinggi.

Bank Sentral terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk menangkis krisis mata uang, setelah lira jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dolar AS pada akhir 2021.

Baca Juga: RESMI! Angel Di Maria Hijrah ke Juventus dengan Status Bebas Agen

Pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam pukulan dari inflasi telah melemahkan keuangan pemerintah. Keluarga berjuang untuk membeli makanan dan barang-barang lainnya, sementara utang luar negeri Turki telah mencapai sekitar 54% dari PDB.

  1. Zimbabwe

Inflasi di Zimbabwe telah melonjak hingga lebih dari 130%, meningkatkan kekhawatiran negara tersebut dapat kembali ke hiperinflasi tahun 2008 yang mencapai 500 miliar persen dan menumpuk masalah pada ekonominya yang sudah rapuh.

Zimbabwe berjuang untuk menghasilkan arus masuk yang memadai dari dolar AS yang dibutuhkan untuk ekonomi lokalnya yang telah terpukul oleh tahun-tahun deindustrialisasi, korupsi, investasi rendah, ekspor rendah, dan utang tinggi.

Inflasi telah membuat warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang tersebut, menambah permintaan dolar AS. Banyak warga yang terpaksa mengurangi makan karena mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

  1. Lebanon

Lebanon nyaris senasib dengan Sri Lanka, mulai dari keruntuhan mata uang, kekurangan uang, tingkat inflasi yang mendekik, kelaparan yang meningkat, antrean yang mengular untuk bahan bakar, dan kelas menengah yang hancur. Negara ini juga mengalami perang saudara yang panjang sehingga pemulihannya terhambat oleh disfungsi pemerintah dan serangan teror.

Baca Juga: Resep Gulai Kambing yang Makyos dan Cocok di Santap di Momen Hari Raya Idul Adha

Usulan pajak pada akhir 2019 memicu kemarahan lama terhadap kelas penguasa dan protes berbulan-bulan. Mata uang mulai tenggelam dan Lebanon gagal bayar senilai sekitar US$ 90 miliar pada saat itu, atau 170% dari PDB, salah satu yang tertinggi di dunia.

Pada Juni 2021, dengan mata uang yang telah kehilangan hampir 90% nilainya, Bank Dunia mengatakan krisis tersebut menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2022 di kisaran 4,8 persen – 5,3 persen. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia tidak termasuk negara yang ambruk ekonominya.

Selaku bendahara negara, Sri Mulyani optimis realisasi pertumbuhan ekonomi 2022 kemungkinan akan mendekati level atas yakni sekitar 5 persen. Namun, realisasi tetap menunggu perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).***

Editor: Noval Anwari Faiz


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x