Hari Raya Idulfitri Sudah Dekat, Makanan Tradisional Khas Sunda Ini Masih Sepi Pembeli

- 29 April 2021, 13:25 WIB
Pengrajin borondong Ahmad Saepul Rachman
Pengrajin borondong Ahmad Saepul Rachman /Engkos Kosasih/GM
 
GALAJABAR - Para perajin makanan tradisional borondong ketan  dan borondong enten  di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, hingga pertengahan Bulan Suci Ramadhan ini belum merasakan naiknya pemasaran produk mereka.
 
Padahal, produk ekonomi kreatif ini selalu menjadi andalan perajin untuk meraup keuntungan setiap memasuki Bulan Suci Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idulfitri. 
 
"Sekarang mah masih sepi, pemasaran makanan tradisional borondong atau makanan lainnya belum terlihat menjanjikan," kata perajin borondong Ahmad Saepul Rachman kepada "GM" di Desa Laksana, Rabu, 28 April 2021. 
 
 
Menurut Ahmad, sebelumnya, setiap memasuki Bulan Suci Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idulfitri, penjualan borondong selalu meningkat.
 
Banyak warga yang memesan penganan khas ini untuk oleh-oleh atau barang bawaan saat pulang kampung atau berkunjung ke rumah sanak saudara.
 
"Namun saat ini ada larangan mudik dari pemerintah, sehingga dikhawatirkan pemasaran makanan tradisional tersebut tambah lesu. Biasanya, banyak orang pesan borondong untuk oleh-oleh pergi ke luar kota maupun luar provinsi," katanya. 
 
 
Borondong, kata Ahmad, biasanya dibeli warga untuk persiapan Hari Raya Idulfitri dan menjadi favorit saat berkumpul bersama keluarga.
 
"Borondong adalah sajian makanan tradisional khas urang Sunda yang bisa dimanfaatkan untuk cemilan saat ngobrol bersama keluarga. Sekarang ini makanan khas Sunda itu sudah banyak dinikmati oleh berbagai kalangan, sering dijadikan oleh-oleh saat pergi ke luar kota, bahkan luar negeri," tuturnya.
 
Ahmad mengatakan, para pengrajin di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, sudah puluhan tahun berkarya dan bertahan hingga kini.
 
 
"Rasanya pun cukup khas karena terbuat dari ketan yang dicampur dengan gula merah. Ada juga borondong enten dengan rasanya sangat manis, karena proses pembuatannya lebih dominan menggunakan gula merah yang dicampur dengan kelapa atau makanan lainnya," katanya. 
 
Menurut Ahmad, produksi borondong ketan maupun borondong enten tidak mengurangi ciri khasnya, baik rasanya maupun bentuknya. Warnanya pun tak berubah, sesuai dengan warna borondong yaitu kecokelatan, sedangkan borondong enten warna putih yang sudah diketahui banyak pihak.
 
"Sebenarnya, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan rasa khas borondong yang dihasilkan para perajin di Desa Laksana," katanya. 
 
 
Dampak pandemi Covid-19, ujarnya, pemasaran borondong mulai terasa lesu dan belum ada geliat. 
 
"Tapi kami tetap optimis, borondong masih menjadi buruan masyarakat yang cinta terhadap makanan tradisional yang tak pernah berubah citarasa dan kenikmatannya," ungkapnya. 
 
Borondong juga dipasarkan ke sejumlah pasar sehingga masyarakat lebih mudah mendapatkan makanan tersebut.
 
"Harganya pun terjangkau karena hanya ribuan rupiah per kantong. Harga pun disesuaikan dengan banyaknya makanan yang dikemasan," katanya. 
 
 
Ahmad menilai, borondong masih mampu bersaing dengan jenis makanan lainnya.
 
"Sampai saat ini, masih banyak warga yang hobi dan senang  makananan tradisional tersebut," pungkasnya. (Penulis: Engkos Kosasih)***

Editor: Noval Anwari Faiz


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah