Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 5)

- 23 Februari 2021, 08:26 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Rose mengalami sesuatu yang kurang mengenakan. Namun, Felix membantunya menyelesaikan masalah tersebut.

Siapa yang menyangka bahwa aksi sederhana Felix tersebut justru malah membuat Rose semakin jatuh cinta dengan Felix? Sementara itu, Ruby merasa ada sesuatu yang aneh dengan hatinya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Rose… suka Felix?” lirihnya dengan nada kecewa dan tidak percaya. Ruby pun berusaha untuk tetap fokus dan kembali mengerjakan tugasnya.

Ruby mendongak saat ia mendengar langkah kaki memasuki ruang klub. Matanya menangkap Felix yang datang dengan dua gelas kopi. Satu miliknya dan satu lagi pesanan milik Ruby.

“Nih!” sodor Felix.

“O-oh, makasih- EH?!”

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 1)

Beruntung tangan kanan Felix refleks mengangkat laptop Ruby sebelum tetesan dan tumpahan dari kopi milik Ruby mengalir ke laptop.

“Kamu tuh ceroboh banget, sih!” bentak Felix memarahi. “Kapan kamu gak hati-hati coba? Kayaknya emang keseringan!”

“Ya, maaf! Kopinya panas!” tutur Ruby yang membela diri.

“Tisu, Ruby! Tisu!” gertak Felix, membuat Ruby segera mengeluarkan tisu dari tasnya dan mengelap tumpahan tersebut.

Setelah selesai, Felix kembali menaruh laptop yang sebelumnya ia angkat. “Ah, kopinya jadi kebuang sia-sia!” omel Felix.

“Lah, kenapa kamu yang ngomel?!” tanya Ruby yang sama tak sabaran.

Felix hanya menghela napasnya. Tapi, ia langsung sadar dengan Ruby yang tiba-tiba mengalihkan pandangannya dengan aneh.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 2)

Ruby menatap kosong pada layar laptop di hadapannya.
“Ruby, ngelamunin sesuatu?” tanya Felix. Ruby tidak menjawab.

Felix pun menghela napasnya. “Kalau aku ngomelnya kelewatan, maaf,” tutur Felix singkat.

Ruby pun menggelengkan kepalanya. Ia hanya merasa bersalah harus menghabiskan malam dengan orang yang temannya sukai.

“Makasih kopinya,” lirih Ruby yang langsung melanjutkan kegiatan membuat tugas dan mengejar batas waktunya.

“Tulisnya yang bener, jadi aku gak perlu susah-susah ngedit,” tutur Felix seraya mendudukan dirinya di sofa.

“Lixie, kamu tuh hebat, ya?” tutur Ruby, membuat Felix sedikit terkejut karena Ruby baru saja menyebut nama akrabnya.

“Apanya?” tanya Felix yang menoleh, mendapati Ruby yang lagi-lagi mengetik namun dengan tatapan yang sama kosongnya dengan sebelumnya.

Setelah menekan tombol ‘enter’ dengan cukup keras, Ruby menghela napasnya.

“Semuanya. Kamu sebenernya pinter, berbakat. Sedingin apapun kamu, kamu masih banyak yang deketin. Enak rasanya punya banyak akses. Kaum good-looking beda, ya?” tutur Ruby lagi.

Ruby menarik gelas kopinya perlahan, mengurangi resiko untuk tumpah seperti sebelumnya.

Ia menyeruput kopi coklat tersebut perlahan. “Beda banget sama aku yang susah beradaptasi. Akhirnya aku cuman temenan sama yang itu-itu aja, nyusahin, gak ada akses sama sekali. Menyebalkan!” gerutu Ruby.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 3)

Felix ikut menghela napasnya. Ia juga mengambil gelas kopinya.

“Baru kali ini aku denger kata-kata sepesimis itu dari orang yang kelewat pinter dan percaya diri sampai dapet beasiswa penuh dari pemerintah. Mau pesimis juga butuh ngaca,” ucap Felix dengan niat menyemangati.

Hening sesaat, namun Felix bersedia untuk memecahnya.
“Pada akhirnya sama aja, ‘kan? Jauh dari orangtua tuh emang kelewat susah,” jujur Felix.

“Aku banyak yang deketin atau banyak akses mungkin cuman gara-gara aku adiknya Kak Rachel, dosen muda di kampus ini. Sama aja susahnya kayak kamu.”

Mungkin bukan akses seperti itu yang Ruby maksud. Ia sedang berpikir tentang Rose yang baru saja mengatakan bahwa ia menyukai Felix. Itu membuat Ruby sedikit cemburu tanpa alasan.

“Makanya,” Felix menatap Ruby. “Aku gak mau denger kalimat pesimis kayak gitu lagi.”

Manik kecokelatan milik Ruby membulat sempurna saat ia melihat keseriusan dalam manik permata Felix. Tapi setelahnya, manik Ruby kembali melukiskan kesedihan.
“Emangnya, kamu gak pernah kecewa sama diri kamu sendiri?” tanya Ruby.

“Mau kecewa juga gak tahu buat apa. Yang udah kejadian, ya udah! Gak ada waktu buat kecewa, ‘kan?” jawab Felix yang kembali menaruh gelas kopinya dan melanjutkan kegiatan mengetiknya.

Ruby selalu mengira ada sesuatu yang membuat Felix menjadi sangat dingin.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 4)

Padahal, Felix yang pertama kali ia temui saat itu merupakan Felix yang penuh tawa, kejahilan, dan keramahan.

Felix memancarkan kehangatan untuk orang-orang di sekitarnya. Ruby merasa berbicara dengan orang asing. Namun yang membuatnya semakin kebingungan adalah sisi Felix yang mana yang Rose sukai.

“Dengar,” titah Felix dengan suaranya yang dalam, membuat Ruby mengalihkan perhatian padanya. “Kamu pernah gak sih ngerasain takutnya kehilangan seseorang yang kamu sayang?”

Semua langsung terasa hening. Hanya angin malam dan detak jantungnya sendiri yang bisa terdengar oleh Ruby.

Ruby tidak tahu maksud dan makna dari pertanyaan itu, tapi mungkin, tanpa Felix sadari, itulah yang sedang hati kecil Ruby rasakan.

Mau menolak sekuat apapun, pada akhirnya, Ruby menjadi sangat serakah pada perasaannya itu.

Tapi setelahnya, Felix kembali menghela napasnya. “Lupain aja,” pintanya. “Gak penting, lagian.”


Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x