Sejarah Perjuangan R.A. Kartini: Bukan Sekadar Identik dengan Kebaya dan Pawai Baju Daerah

18 April 2022, 12:53 WIB
R.A. Kartini, salah satu pejuang dari kalangan pemuda /Twitter/@RumahCemara

GALAJABAR - Mungkin hampir semua orang di Indonesia tahu tentang Hari Kartini, hari di mana anak-anak sekolah biasanya didandani memakai kebaya dan baju daerah.

Hari ceria yang menghiasi masa kecil kita semua dengan pameran busana daerah, acara tarian daerah, lagu-lagu, pentas seni, bazar, dan lain sebagainya.

Sosok Kartini menjadi begitu identik dengan kebaya, pakaian daerah, dan tradisi seremonial tiap tahun.  Namun sudah dua tahun kita tidak merayakan Hari Kartini seperti tahun-tahun sebelumnya,  karena adanya pandemi Covid-19 yang membuat kita harus jaga jarak.

Meski merayakan seperti tahun-tahun sebelumnya, namun kita bisa merayakannya dengan mengenal siapakah sebenarnya R.A. Kartini dan apa saja yang dia lakukan untuk kaum wanita saat itu. So, simak terus ya sampai selesai.

Baca Juga: Bandung Miliki Wali Kota Definitif, 3 Pesan Ridwan Kamil kepada Yana Mulyana, No. 2 Hurus Dekat dengan Rakyat

Bisa jadi, hampir semua orang di Indonesia pernah mengalami perayaan Hari Kartini.

Mungkin, semua yang membaca tulisan ini juga pernah menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini“. Kartini memang simbol nasional kita yang luar biasa.

Bahkan, dia adalah satu-satunya tokoh nasional yang diperingati hari kelahirannya, 21 April, karena presiden pertama Republik Indonesia Soekarno saja tidak diperingati hari kelahirannya.

Mungkin hanya R.A. Kartini juga  satu-satunya tokoh nasional yang dibuatkan lagu secara khusus (Ibu Kita Kartini).

Baca Juga: Ello Dipanggil Bareskrim Hari  Ini  Sebagai Saksi Terkait Kasus DNA Pro

Namun,  di sisi lain, berapa banyak orang Indonesia yang tahu kisah kehidupan Kartini dan gagasan seperti apa yang ia perjuangkan?

Siapakah sosok Kartini sebenarnya? Bagaimana mungkin hidup seorang wanita yang hanya berumur 25 tahun, bisa begitu dikenang oleh sebuah negara?

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, pada sebuah masa ketika tanah ini masih bernama Hindia Belanda.

Ia lahir dari kalangan kelas bangsawan Jawa, ayahnya bernama RMA Ario Sosroningrat (selanjutnya disebut Sosroningrat) adalah patih/wedana dan calon bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, anak seorang mandor pabrik gula.

Baca Juga: Yordania: Melanggar Hukum Internasional, Israel bertanggung Jawab Atas Eskalasi Ketegangan di Al Aqsa

Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan, oleh karena itu ayah Kartini menikah lagi dengan RA Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura – untuk kemudian resmi diangkat sebagai Bupati Jepara.

Jadi, Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Pada masa itu, kedudukan wanita sangat dipengaruhi oleh feodalisme (kebangsawanan) dan adat.

Hal itu menyebabkan, sejak kecil Kartini terbiasa melihat ibunya duduk ngesot, di depan suami, istri kedua, dan anak-anaknya sendiri.

Sifat serba ingin tahu dari RA.Kartini membuat orang tuanya semakin memperhatikan perkembangan jiwanya, Kemudian RA.Kartini dimasukkan ke Sekolah ( Europenes Lagere School, ) dalam asuhan Guru Ny. Ovink Soer dengan sesekali bermain ke Pantai Bandengan 7 Km ke arah utara kota Jepara.

Baca Juga: PSG vs Marseille Skor 2-1, PSG Semakin Dekat Juarai Liga Prancis ke-10 Kalinya, Kokoh di Puncak Klasemen

Setelah lulus dari Europenes Lagere School, Kartini ingin melanjutkan  ke sekolah yang lebih tinggi, Kartini berlutut dan memohon pada ayahnya untuk melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang.

Ayah Kartini yang terkenal progresif itu pun melarang Kartini untuk “mengacaukan” tatanan istiadat bangsawan Jawa dan harus mematuhi tuntutan adat untuk dipingit dan harus bersedia menerima lamaran lelaki tanpa memiliki hak untuk bertanya, apalagi menolak.

Hari-hari awal dipingit, Kartini bosan, jenuh, dan sedikit iri dengan teman-teman maupun saudara-saudaranya yang bersekolah.

Adik-adik Kartini yang lebih muda (Roekmini dan Kardinah), masih bersekolah di sekolah rendah dan menanti giliran dipingit.

Baca Juga: Tahun 2023 Pesantren yang Ikuti OPOP Harus Capai 5.000, Ridwan Kamil: Produknya akan Didaftarkan di E-Katalog

Sementara kakak laki-lakinya, RM Sosrokartono bernasib lebih beruntung sebagai laki-laki karena bisa melanjutkan sekolah di HBS Semarang dan ke Universitas Leiden, Belanda.

Hari-hari awal Kartini hanya dihiasi dengan kegiatan belajar memasak, membatik, dan menulis surat.

Sejak dipingit dan tidak boleh bersekolah maupun tidak boleh keluar rumah, semangat belajar Kartini hanya tersalurkan pada bacaan buku-buku Belanda yang dikirim oleh sang kakak dan sang moedertje (Ovink-Soer).

Bacaan Kartini tergolong dari karya sastra feminis dan anti perang, seperti Goekoop de-Jong Van Beek, Berta Von Suttner, Van Eeden, hingga Max Havelaar karya Multatuli yang menceritakan ketidakadilan dari cultuurstelsel/tanam paksa kopi.

Baca Juga: Waspada! Jabar Diguyur Hujan Sepanjang Hari: Prakiraan Cuaca Wilayah Jawa Barat Senin, 18 April 2022

Kenekatan Kartini dengan prinsip egaliternya (kesetaraan), menjadikan dirinya dijuluki kuda kore atau kuda liar oleh lingkungannya. Enam tahun dalam pingitan, Kartini adalah gadis pertama yang tercatat dalam sejarah peradaban Jawa yang memberontak pada tatanan adat istiadat yang kaku dan tidak mempedulikan tekanan sosial di sekitarnya.

Pada, 2 Mei 1898 sang ayah memutuskan membebaskan mereka dari pingitan. Keputusan Sosroningrat ini tidak lepas atas bujukan dari Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer .

Mereka ingin Sosroningrat  memperbolehkan Kartini dan adik-adiknya untuk menghadiri perayaan hari penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang.

Kegembiraan Kartini ia tuliskan dalam suratnya tak terbendung. Ini adalah hari paling membahagiakan bagi dirinya, hari pertama pembebasan itupun dirayakan dengan pengalaman pertama Kartini keluar Jepara dan melihat “dunia baru” di Semarang.

Baca Juga: Niat Salat Sunnah di Malam Nuzulul Qur'an Dilengkapi dengan Artinya

Setelah lepas dari pingitan, Kartini mendirikan sekolah pertama untuk perempuan pribumi di tanah Hindia Belanda. Awalnya, sekolah itu berisi hanya satu orang murid.

Ide “menyekolahkan anak perempuan” itu adalah hal yang asing, aneh, dan radikal.

Tidak menyerah, Kartini terus menyurati orangtua yang memiliki anak perempuan di seluruh Jepara untuk menjadi murid sekolah yang didirikannya. Lambat laun, murid-murid Kartini pun bertambah.

Saat itu, ia bukan hanya dikenal sebagai pendiri sekolah wanita pertama, Didi Kwartanada (sejarawan Yayasan Nabil) berpendapat bahwa Kartini juga bisa disebut sebagai jurnalis pertama sekaligus antropolog pertama Indonesia.

Baca Juga: Nuzulul Quran Erat Kaitannya dengan Lailatul Qadar? Begini Penjelasan Syekh Ali Jaber

Namun, nasib kurang beruntung Kartini ternyata belum berakhir. Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatnya untuk melanjutkan studi menjadi guru di Batavia juga terhalang oleh kedatangan sepucuk surat lamaran, dari Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Djojo Adhiningrat (selanjutnya disebut Djojoadhiningrat).

Dalam proses penerimaan lamaran ini, Kartini melakukan banyak hal yang sangat tidak lazim bagi perempuan pada masa itu.

Syarat dari Kartini antara lain: Kartini ingin diberi kebebasan untuk membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri pejabat Rembang, seperti yang telah dia lakukan di Jepara.

Dalam prosesi pernikahan, Kartini tidak mau ada proses jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki pria, dan gestur-gestur lain yang melambangkan ketidaksetaraan antar hubungan laki-laki dan perempuan.

Baca Juga: Spesifikasi dan Harga Samsung Galaxy A33 5G, Cocok untuk Berbagai Jenis Kegiatan

Syarat terakhir, Kartini minta untuk diperbolehkan berbicara dengan suaminya dengan bahasa Jawa ngoko (kasar), bukan kromo inggil (bahasa halus dan hanya untuk bangsawan).

Sepuluh bulan setelah pernikahannya, Kartini melahirkan anak semata wayang R.M. Soesalit Djojoadhiningrat.

Putra tunggalnya itu di masa depan menjadi seorang pejuang Indonesia melawan penjajahan Belanda dan Jepang.

Empat hari setelah proses melahirkan, kondisi tubuh Kartini drop secara mendadak dan meninggal dunia pada 17 september 1904. Kematian Kartini sangat mendadak dan mengejutkan banyak pihak, bahkan ada desas-desus Kartini meninggal karena diracun atau korban malpraktik dari dokter yang tidak cakap.

Baca Juga: Berikut 3 Bacaan Doa Nuzulul Qur'an, Berharap Dimasukkan ke dalam Surga

Namun hingga kini, tidak ada bukti kuat yang bisa mengarahkan dugaan kita pada kemungkinan tersebut, selain dari kondisi fisik yang sangat rentan pasca-melahirkan.

Setelah Kartini wafat, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.

Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini bikin heboh Amsterdam ketika diterbitkan pertama kali tahun 1911.

Sejak saat itu, suara Kartini terdengar jauh hingga ke seluruh Eropa dan Hindia, sebagai sosok perempuan pertama yang memecah keheningan dan menjadi suara inspirasi sekaligus pelopor dari revolusi budaya di tanah Nusantara, menuju kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan.

Baca Juga: Resep Semur Daging Sapi dan Kentang yang Super Simpel, Pas Banget untuk Buka Puasa

Terinspirasi oleh semangat Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. 

Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini“. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Jadi gengs, sosok  RA. Kartini bukan sekedar  wanita yang identik dengan memakai kebaya dan mempunyai sikap yang lemah lembut seperti putri Keraton.

Begitu banyak perjuangan nya untuk wanita, dan saat ini kita juga yang merasakan perjuangannya, Karena saat ini wanita setara dengan para pria untuk pendidikan ataupun dapat bekerja dengan bebas.***

Editor: Noval Anwari Faiz

Tags

Terkini

Terpopuler