DEEP : RUU Pemilu Mendesak untuk Direvisi

- 3 Februari 2021, 17:27 WIB
Direktur Eksekutif DEEP (Democracy And Electoral Empowerment Partnership), Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif DEEP (Democracy And Electoral Empowerment Partnership), Neni Nur Hayati /Dokumen Neni Nur Hayati/
GALAJABAR - Direktur Eksekutif DEEP (Democracy And Electoral Empowerment Partnership), Neni Nur Hayati berpandangan bahwa dalam hal mengatasi berbagai permasalahan krusial dalam kepemiluan, RUU (Rancangan Undang-Undang) Pemilu menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan revisi.
 
Menurutnya, terdapat banyak pasal yang harus dibenahi, khususnya terkait dengan pengaturan mengenai keserentakan pemilu sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019. 
 
Pernyataan Neni Nur Hayati  melalui rilisnya yang diterima galajabar, Rabu 3 Februari 2021, menyebutkan, hal itu terlepas dari pro kontra terkait dengan pembahasan RUU Pemilu yang semakin menguat di antara 
fraksi-fraksi di DPR RI. 
 
 
"Bahwa Pemilu 2019 semestinya menjadi pembelajaran yang sangat berharga karena ratusan penyelenggara pemilu meninggal karena kelelahan. Ini menjadi momentum yang tepat untuk dibenahi dan dievaluasi," ungkap Neni Nur Hayati. 
 
Ia menyebutkan, revisi UU Pemilu penting untuk melakukan pembenahan pada desain penyelenggara pemilu.
 
"Kita ketahui bahwa tiga lembaga penyelenggara pemilu, yakni KPU, Bawaslu dan DKPP saat ini terlihat ada dalam egosentris masing-masing 
kelembagaan dan saling menegaskan," ucapnya. 
 
 
Oleh karenanya, imbuh Neni Nur Hayati, harus ada kewenangan yang jelas antar lembaga penyelenggara pemilu, jangan sampai kasus yang terjadi terus berulang.
 
"Itu harus diatur 
dalam revisi RUU Pemilu," tandasnya.
 
Tidak terbayang juga, lanjut Neni Nur Hayati, jika pemilu nasional dan daerah digelar serentak pada  tahun 2024, meski 
memang tidak dalam waktu yang sama, pilkada digelar pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres). 
 
 
Dikatakan, pileg dan pilpres pada April 2024, sementara pilkada November 2024, tetapi hal ini tetap saja akan sangat menguras energi, sangat rumit dan kompleks dengan jeda waktu yang pendek. 
 
"Belum lagi persiapan dan pengelolaan tata keola pemilu," tuturnya.
 
Neni  berpandangan bahwa terdapat aturan dalam beberapa pasal di UU Pemilu dan Pilkada yang sudah tidak kompatibel lagi untuk digunakan dalam pemilihan yang akan datang.
 
 
Hal ini juga akan terjadi potensi tumpang tindih aturan dan tahapan. 
 
"Ada juga banyak isu lain dalam RUU pemilu seperti keadilan pemilu (electoral justice), 
seperti upaya penekanan politik uang dan mahar politik yang terus terjadi tetapi sangat sulit untuk diproses," katanya. 
 
Di samping itu, Neni mengungkapkan, ada juga menyangkut ambang batas pencalonan presiden (presidential 
threshold), ambang batas raihan suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen 
(parliamentary threshold), metode konversi suara, sistem pemilu serta besaran kursi setiap daerah pemilihan (dapil). 
 
 
"DEEP akan terus mengawal RUU yang sudah masuk dalam prolegnas. Harapannya, dengan revisi RUU Pemilu akan memperbaiki kualitas kepemiluan," ujarnya.
 
"Bukan hanya 
untuk pemilu 2024 saja, melainkan juga untuk lima pemilu yang akan datang," imbuhnya. 
 
Neni juga berharap 
bahwa pro kontra revisi RUU Pemilu jangan sampai hanya untuk kepentingan elite tertentu saja.
 
 
"Tapi harus memperhatikan kemaslahatan untuk masyarakat," pungkasnya.***

Editor: Dicky Mawardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah