Mereka yang Kau Tulis (Chapter 1)

- 21 Januari 2021, 08:34 WIB
 ilustrasi menulis
ilustrasi menulis /pixabay


GALAJABAR -  Mulai hari ini, galajabar kembali menyajikan cerita bersambung bersambung karya Sadrina Suhendra. Kali ini berjudul “Mereka yang Kau Tulis.

Selamat membaca..

Mereka yang kau tulis itu hidup. Mereka bernyawa, memiliki jiwa, nama, perasaan dan keinginan. Mereka juga menginginkan apa yang tidak kita tuliskan.

Terkadang mereka setuju dan ceritamu akan berjalan mulus. Tapi terkadang juga mereka menginginkan jalan cerita lain yang menurut mereka lebih pantas.

Pena dan tintamu itu memberi nyawa dan kehidupan bagi mereka yang kau tulis. Saat kau tidak bisa memenuhi apa yang mereka inginkan, mereka bisa marah dan kecewa. Emosi mereka tersebut bahkan bisa memengaruhi semua yang ada di dunia nyata.

Baca Juga: Duh, Harga Emas Hari Ini Kamis, 21 Januari 2021 Terus Naik, Berpikir Ulang untuk Investasi

Badai angin yang kuat terus menerus melanda kota. Semua orang terus berdoa agar badai tersebut segera berhenti.

Mereka tidak ingin ada kerusakan dan korban jiwa lagi di kota tersebut. Tapi apapun yang mereka lakukan, badai itu seperti kutukan yang tidak akan berhenti.

Di gelapnya malam, seorang gadis terduduk di ruangannya. Cahaya lilin menjadi satu-satunya sumber pencahayaan yang menerangi kamarnya.

Di tangannya, sebuah pena terus menggoreskan tinta di atas kertas, menuliskan apa yang hatinya ucapkan.

Keheningan malam menyelimuti. Siapa sangka bahwa penyebab terjadinya badai di kota tersebut adalah apa yang gadis ini tuliskan.

“Keluargaku menjodohkanku dengan seorang perwira muda. Aku melakukan ini demi ibuku yang sedang sakit. Kita tidak bisa bersama. Maafkan aku, Alecdora. Aku mencintaimu.” gores pena tersebut di atas kertas.

Wajah gadis itu menyiratkan rasa frustasi dan kesedihan yang amat mendalam. Itu sudah kelima kalinya gadis itu menyirat kalimat tersebut di atas kertasnya, tapi kalimat-kalimat itu terus menghilang dari kertasnya.

Baca Juga: Pemuda Ansor Dayeuhkolot Serahkan Masker kepada Gugus Tugas Covid-19 Desa Citeureup

Seseorang seperti tidak merestuinya untuk menulis kalimat menyakitkan tersebut.

“Danau Keputusasaan.” Itu dua kata yang tertulis di bagian atas dari kertas dan menjadi judul dari apa yang sedang ia tulis.

Napas gadis itu bergetar karena menahan tangis. Ia memijat keningnya perlahan, berharap itu bisa mengurangi perasaan berlebih yang sedang ia rasa.

Ia pun berlirih, memanggil nama orang yang tidak merestui apa yang ia tulis. “Alecdora…”
-

Seminggu yang lalu…

“Kau jauh-jauh datang dari markas besar militer angkatan udara hanya untuk ini,” gumam seorang pria bermanik api pada pria sebaya dihadapannya.

“Kenapa kau sangat ingin memperistri adikku?” tanya pria itu. “Laksamana Muda William Giovanni.”

Pria bernama William itu menaruh cangkir teh yang baru saja ia gunakan untuk minum. “Mayor Jenderal Leo Rouen, tidak perlu formal begitu. Seperti bukan dirimu saja.”

Leo terkekeh. “Baiklah, Will. Memang seperti bukan kita saja.” Leo kembali memebaca surat perjanjian pernikahan yang ada di tangannya.

“Jadi sekali lagi aku bertanya, kenapa kau sangat ingin menikahi Leona?”

“Aku yakin kau sudah mengetahui alasannya,” tutur William. “Dia tidak akan mengenaliku.”

“Oh, iya. Pangeran dalam dongeng yang sering Leona dambakan saat masih kecil adalah kau, Will.”

Baca Juga: Kemal Palevi : Semakin Lama Menyimpan Sepatu Harganya Makin Mahal

“Saat itu kau datang hanya sekilas di hidupnya dan dia sudah jatuh cinta padamu. Padahal dia hanya berusia sepuluh tahun. Dia menjadikan sosok tersebut sebagai pemeran utama dalam novel romansa pertamanya.”

William terkekeh. “Padahal dia berharap bahwa pangeran yang ia tulis akan hidup. Padahal yang ia tulis adalah orang nyata.”

Eskpresi wajah Leo langsung berubah serius. “Lalu, kenapa kau tidak langsung meminangnya? Kenapa kau ingin menggunakan kontrak pernikahan? Ini mulai terlihat seperti perjodohan.”

William menatap kosong cangkir tehnya. “Aku tidak tahu cara melakukannya. Terlebih, keluarga kita sama-sama konglomerat di negara ini. Sebelum ia menyadari itu, aku ingin dia mencintaiku yang sekarang. Jadi, karena itulah aku meminta bantuanmu, Leo.”

“Sejak ulang tahunnya yang ke tujuh belas tiga tahun lalu, mulai banyak pria yang datang pada keluargaku untuk meminangnya.”

“Tapi, lamaran itu ia tolak mentah-mentah. Ia beralasan para calon suaminya itu jawaban yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Dia bilang, jika memang benar orang itu mencintainya, maka dia akan bisa menjawabnya sebaik-baiknya.” jujur Leo.

“Dia adalah tipikal wanita yang berpendidikan tinggi seperti Nyonya Ariel Rouen,” senyum William.

Baca Juga: Hasil Sidak Kang Emil di Tasikmalaya : Masih Banyak yang Keliru Pakai Masker

“Benar, dia sangat mirip seperti Ibunda,” jujur Leo.

“Justru itu yang membuatnya menarik. Aku yakin dia bisa menjadi sosok wanita hebat di balik punggungku, sosok yang akan terus mendorong punggungku dan mempertajam ambisiku,” manik nila milik William berbinar saat membicarakan tentang Leona.

Sama seperti sosok pangeran yang Leona dambakan, Leona sendiri adalah sosok seorang putri yang William inginkan.

“Will, aku mempercayaimu karena aku mengenal bagaimana sosokmu, bahkan saat kita berdua masih berada di kelas militer dulu,” tutur Leo. “Aku mempercayakan adikku padamu. Aku yakin kau adalah pria yang tepat untuknya.”

William tersenyum akan kepercayaan yang Leo berikan padanya. “Aku akan menjaga kepercayaanmu itu.”

“Kau harus!” tegas Leo yang sedikit terkekeh. Ia meneguk tehnya. “Satu pertanyaan serius terakhir,” gumam Leo seraya menaruh cangkirnya.

Baca Juga: Sambil Menangis, Jaksa Pinangki Mengaku Ingin Membalik Waktu

“Bagaimana caraku meyakinkan Leona agar ia mau menerima perjodohan ini?”

William menyeringai. “Aku sudah merencanakan semuanya,” yakin William. “Kejadian waktu itu, catatan lama Nyonya Ariel Rouen tentangku.” (bersambung)***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah