Mereka yang Kau Tulis (Chapter 4)

- 24 Januari 2021, 08:55 WIB
 ilustrasi menulis
ilustrasi menulis /pixabay



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Leona akhirnya mengetahui alasan kenapa ia harus menggunakan riasan rambut milik ibunya saat bertunangan dulu.

Leona harus bertemu dengan William Giovanni, calon suaminya.
Pernikahan keduanya tidak akan pernah dilandasi oleh cinta karena itu adalah penjodohan paksa. Leona tidak bisa menerima hal yang mengekang kebebasannya itu.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya,

“Sudah melampiaskan kekesalannya?” tanya orang tersebut sesaat setelah ia memasuki kamar Leona.

“Kalau sudah, aku ingin memberitahumu sesuatu?”

“Tentang apa?! Tentang pernikahanku?!” Leona nampaknya masih sangat kesal.

“Leona, aku tidak menyukai sifat kekanak-kanakanmu ini!” tegas orang itu.

“Permisi, Kakanda. Sifat bagaimana yang kau harapkan saat kau tiba-tiba menyuruhku menikahi orang yang bahkan belum pernah aku kenal?!”

Benar, orang yang sedang berbicara dengan Leona adalah kakaknya, Leo. “Andai ada yang bisa aku lakukan soal itu,” lirih Leo.
“Setidaknya, dengarkan aku. Kau tidak perlu menuruti semuanya.”

Baca Juga: Alaves vs Real Madrid, Tanpa Didampingi Zidane, Los Blancos Menang Besar

“Aku selalu bisa melakukan apa yang Ayahanda perintahkan. Jika ada masalah pun aku selalu bisa mengatasinya."

"Tapi sebagai laki-laki, ada beberapa hal yang tidak bisa asal aku kerjakan dan turuti. Salah satunya adalah permintaan terakhir Ibunda.”

Mendengar itu dari kakaknya, Leona sedikit tersentak. “Permintaan terakhir Ibunda?” tanya Leona yang berlirih.

Leo mengangguk. “Kau sendiri tahu seperti apa Ibunda. Dia adalah penulis hebat penuh kebebasan. Ia tidak pernah ingin dikekang oleh apapun, tanpa terkecuali oleh Ayahanda."

Segala isi hati ia curahkan lewat berbagai karya novel dan teks drama. Termasuk pada karya terakhirnya.”

Leona menatap rak buku yang ada di sudut ruangannya, menampakan sebuah salinan asli dari novel terakhir ibunya.

Maniknya langsung menampakan kesedihan. “Telaga Penyesalan,” lirih Leona, menyebutkan judul terakhir dari novel karya ibunya itu.

“Kau itu sangat mirip dengan Ibunda, baik dari penampilan atau pun sikap. Oleh sebab itu, baik aku atau pun Ibunda sama-sama menginginkan kebahagiaan untukmu."

Baca Juga: 5 Restoran Legendaris di Kota Bandung yang Masih Maknyus Rasanya

"Apalagi kau adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga ini. Kau benar-benar dibesarkan seperti Ibunda dan melupakan kenyataan sekeras apa keluarga Ayahanda yang sesungguhnya.”

Leona mengerat riasan rambut ditangannya. Dibandingkan dengan Leon, mungkin Leona adalah anak yang paling dimanja oleh keluarga, mengingat dia adalah satu-satunya putri dalam Keluarga Rouen.

“Bahkan sampai akhir hayatnya sepuluh tahun lalu, Ibunda terus berbicara pada Ayahanda untuk membebaskanmu dari peraturan keluarganya, demi kebahagiaan dan kebebasanmu."

"Tapi Ayahanda tidak bisa berlaku apa-apa dan terus menolak. Karena itu, Ibunda menulis Telaga Penyesalan berisi kisah fiksi tentang seseorang yang menyesal karena tidak mampu mewujudkan mimpinya dan menjauhkan keluarganya dari kesengsaraan.”

Sebelas tahun yang lalu…

“Leo,” panggil seorang wanita dengan hangatnya. Di tangan wanita itu, ada sebuah pena dan beberapa lembar kertas di atas meja lipat di hadapannya.

Baca Juga: Man United vs Liverpool di Piala FA, Setan Merah Lebih Diunggulkan

Secangkir teh jahe menemaninya yang kini hanya bisa terduduk di kasur.

Meski terdengar dan terlihat lemah, wanita ini masih saja asik dengan kegiatan menulisnya.

“Tahun depan kau akan resmi menjadi prajurit angkatan darat militer di pasukan ayahmu, ‘kan?” tanya wanita itu. “Ibunda jadi tidak sabar ingin melihat acara pelantikanmu nanti.”

“Aku akan berlatih lebih giat lagi dan menjadi prajurit yang kuat dan hebat seperti Ayahanda,” janji Leo pada wanita yang ternyata adalah Ariel Rouen, ibunya

Sang Ibu terkekeh. “Tentu. Mungkin, Leon juga akan mengikuti jejakmu dan ayahnya. Nantinya dia akan menjadi orang militer hebat seperti kalian berdua.”

Nyonya Ariel mengusap kepala putra bungsunya itu yang tertidur di sampingnya.

Leon yang saat itu masih berusia lima tahun semakin mendekat saat sentuhan hangat ibunya terasa pada dirinya.

Nyonya Ariel menatap keluar jendela kamarnya. Ia bisa melihat bagaimana Leona, putri satu-satunya sedang asik menulis pada selembar kertas di bangku taman kediamannya.

Baca Juga: BMKG Peringatkan Hujan Lebat Masih Bakal Terjadi di Wilayah Jawa Barat

“Mungkin juga ini cuman perasaan Ibunda kalau Leona akan jadi satu-satunya di antara kalian bertiga yang mewarisi kemampuan sastra dan literasiku.”

Nyonya Ariel kembali menatap putra sulungnya itu. “Tapi kalau sifat penyabarku, sepertinya sifat itu lebih dominan turun padamu.”

Leo yang saat itu masih berusia enam belas tahun pun terkejut sekaligus terkagum dengan senyuman hangat dan manis milik ibunya.

“Selain akan meneruskan posisi militer ayahmu, kau juga akan meneruskan posisinya sebagai kepala keluarga ini,” senyuman hangat Nyonya Ariel berubah menjadi senyuman yang melukiskan kepasrahan dan penyesalan.

"Karena itu, Leo!” ia kembali menatap Leo dengan senyum hangatnya.
“Apapun itu, sesulit apapun kondisinya, tolong jaga adik-adikmu dengan baik. Prioritaskan kebahagiaan mereka. Ibunda percaya padamu, ‘Nak!”

Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah