Vaksin Nusantara Berbasis Sel Dendritik, Apa Bedanya dengan 5 Vaksin yang Disetujui BPOM? Ini Penjelasannya

- 27 Agustus 2021, 18:30 WIB
Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Unair Prof drh Chairul Anwar Nidom saat berbincang dengan Siti Fadilah Supari
Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Unair Prof drh Chairul Anwar Nidom saat berbincang dengan Siti Fadilah Supari /YouTube

GALAJABAR - Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dikabarkan bisa diandalkan untuk mutasi virus corona.

Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Universitas Airlangga, Prof. Chairul Anwar Nidom.

Seperti yang sudah diketahui, vaksin Nusantara dikembangkan dengan teknologi sel dendritik yang diklaim menjadi solusi atas varian baru corona.

Lantas apa itu sel dendritik? Diketahui, sel dendritik ini merupakan salah satu sel yang berperan dalam fungsi sistem imunitas tubuh.

Baca Juga: Jelang Pilkades, Aparatur Desa Padaulun Sedang Mempersiapkan Vaksinasi Massal dengan Sasaran Hak Pilih

Seorang peneliti vaksin AstraZeneca asal Indonesia, Indra Rusdiansyah pernah menjelaskan bagaimana kerja sel dendritik dalam tubuh manusia.

Menurutnya, sel dendritik ini merupakan sel imun adaptive yang bisa menyesuaikan pada berbagai virus yang masuk dalam tubuh.

Hal itu disampaikan Indra melalui diskusi daring Fakta Seputar Vaksin dan Upaya Menuju Kekebalan Komununal pada Juli lalu.

"Sel dendritik dalam tubuh merupakan sel imun adaptive yang bisa adjust terhadap berbagai virus yang masuk dalam tubuh," kata Indra.

Baca Juga: Sebut 'Wajar' Muhammad Kece-Yahya Waloni Ditangkap Polri, Tokoh NU: Tapi Kenapa Buzzer Tak Tersentuh Hukum?

Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Universitas Airlangga, Prof. Chairul Anwar Nidom juga mengatakan perbedaan vaksin Nusantara dengan vaksin konvensional lainnya.

"Perbedaannya vaksin Nusantara karena sel dendritik itu tidak terjadi inflamasi (kejadian pasca-imunisasi), sementara vaksin yang konvensional akan terjadi inflamasi," kata Nidom.

Inflamasi yang dimaksud adalah kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) yang kerap dialami peserta vaksinasi Covid-19 seperti reaksi demam, kepala pusing, bengkak, bercak kemerahan dan sebagainya usai seseorang menerima suntikan vaksin konvensional.
Baca Juga: PAN ke Koalisi Jokowi, Presiden 3 Periode di depan Mata, Demokrat: Istana Jangan Dipakai Buat Jahat!

Lalu apa bedanya dengan 5 vaksin konvensional yang sudah digunakan di Indonesia?

Diberitakan Galajabar sebelumnya, vaksin Sinovac dan Sinopharm diketahui berbasis Inactivivited Virus. Itu merupakan virus yang tidak berdaya namun bisa merangsang antibodi dalam tubuh.

Sementara Pfizer dan Moderna keduanya merupakan mRna. Vaksin ini tidak menggunakan virus yang dilemahkan namun komponen materi genetiknya direkayasa untuk menyerupai virus tersebut.
 
Baca Juga: Vaksin Nusantara Dipesan Turki, Ketua DPD RI Minta Pemerintah Sigap: Jangan Sampai Minim Dukungan

Jenis vaksin ini dapat memicu kekebalan tubuh untuk melawan penyakit corona.

Sementara AstraZeneca sendiri merupakan Viral Vektor atau Chimpanzee adenovirus ChaDox1.***

Editor: Noval Anwari Faiz


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x