Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 6)

3 Mei 2021, 11:19 WIB
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Putri Kame memberitahu Tsukiyama tentang kedatangan Nyonya Saigo, selir kesayangan Ieyasu.

Putri Kame sempat khawatir bahwa ibunya akan sedih atau itu bisa memicu pertengkaran Tsukiyama dengan Ieyasu. Namun, Tsukiyama sedang mengkhawatirkan hal lain. Untuk sekarang, ia lebih mengkhawatirkan putranya, Nobuyasu dan sang istri.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Apa… Ibunda tidak sedih?” tanya Putri Kame, membuat Tsukiyama kembali memfokuskan perhatiannya pada putrinya. “Maksudku, selama ada Ibunda Masako, Ibunda jadi kesulitan menghabiskan waktu dengan Ayahanda. Apa Ibunda tidak keberatan?”

Baca Juga: Pilihan Hampers untuk Mertua dan Calon Mertua yang Bikin Meleleh


Tsukiyama tiba-tiba terkekeh, membuat Putri Kame kebingungan.
“I-Ibunda?” bingung Putri Kame.
“Kau tahu, Kame?” tanya Tsukiyama di antara kekehannya. “Anehnya, sifat kekanak-kanakanku sejak dulu mendadak hilang saat ini. Aku tidak merasakan kecemburuan atau hal lain. Rasanya, hatiku terasa ringan.”
“A-apa maksud Ibunda?”


“Aku merasa seperti baru didewasakan oleh kondisi. Aku sadar kalau pernikahanku dengan ayahmu hanya sebatas pernikahan politik. Ayahmu tidak mungkin mencintaiku sepenuhnya. Tapi aku senang, setidaknya Ieyasu mencintai kalian, Kame, Nobuyasu, anak-anaknya yang lahir dari rahimku,” lanjut Tsukiyama dengan senyuman tipis yang hangat.


“Ibunda, apa yang kau bicarakan?! Tentu saja Ayahanda mencintaimu!” kesal dan sedih bercampur menjadi satu. Kame bersimpati dengan perasaan ibunya sendiri.
Tsukiyama menggelengkan kepalanya. “Sejak dulu pun begitu. Masako itu cantik, pintar, dan berbakat. Ia akan menjadi permaisuri yang cocok bersanding di samping ayahmu dan menjadi istri kebanggaan seorang pemimpin klan.

Baca Juga: Daftar Juara Serie A LIga Italia Sejak Tahun 2000, Inter Milan Runtuhkan DOminasi Juventus

Karena itu, bukan aku, bukan selirnya yang lain, tapi Masako lah yang ayahmu tunjuk untuk membantu tugas-tugas penting klan. Karena ia mempercayai Masako lebih dari mempercayaiku. Apalagi, ibumu ini memiliki sifat yang sangat kekanak-kanakan. Mana mungkin ayahmu mau menyerahkan tugas pada wanita labil sepertiku!”
“Ibunda,” lirih Kame.


Tsukiyama menyisir surai benang putrinya itu. “Kame,” panggil Tsukiyama pada putrinya.
“Ya, Ibunda?”
“Karena Masako adalah selir kesayangan ayahmu, aku hanya punya satu kekhawatiran. Aku takut kau dan kakakmu akan merasa tergantikan dan kesepian, apalagi dengan lahirnya Hidetada. Aku takut kalian merasa kasih sayang ayah kalian berkurang,” jujur Tsukiyama. Namun, ia kembali tersenyum. “Namun, asal kau tahu saja. Aku akan selalu untuk mengingatkanmu bahwa masih ada aku yang akan menyayangimu. Jadi, kau tidak perlu takut, ya?”


“I-Ibunda ini kenapa?” air mata tiba-tiba membasahi pipi Putri Kame. Ia berusaha untuk tidak menangis. “Kenapa ini terdengar seperti perpisahan? Ibunda tidak akan kemana-mana, kan?”

Baca Juga: Dari Kuker Hingga Mug, Hampers Lebaran yang Cocok untuk Orang Terkasih Pilih mana?


“Eh? Tentu saja, tidak! Kalau pun kita berpisah, mungkin kita hanya akan berpisah tempat tinggal. Kau akan kembali ke Kastil Nagashino saat tugas suamimu selesai, bukan?” tanya Tsukiyama, berusaha untuk menenangkan Putri Kame.


Putri Kame mengusap air matanya dengan kain kimononya. Tsukiyama pun ikut membantunya. “Tapi ini benar-benar terdengar seperti perpisahan!”
“Asal Ibunda tahu, ya! Aku dan Kakanda Nobuyasu tidak akan pernah membiarkan Ibunda pergi! Kalau ada yang macam-macam dengan Ibunda, bahkan jika itu Ayahanda atau Ibunda Masako, aku dan Kakanda yang akan melawan!” tegas Putri Kame.


“Eh, kau ini bicara apa, Kame?” kekeh Tsukiyama. “Itu akan mencemarkan nama ayahmu dan Tuan Nobunaga. Kau tidak ingin dihukum mati oleh Tuan Nobunaga, bukan?”
“Aku tidak peduli! Apapun jika itu untuk melindungi Ibunda!”


Tsukiyama terkekeh. Hatinya yang selalu berat karena rasa iri dan kecemburuan kini terasa ringan. Rasa syukur akan kedua anaknya meringankan jiwanya itu. “Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa tepian jauh sedang membisikan sesuatu padaku,” gumamnya dalam hati. “Aku harap itu sesuatu yang baik.”***

 

Editor: Digdo Moedji

Tags

Terkini

Terpopuler