Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 8)

5 Mei 2021, 09:32 WIB
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY

GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Tsukiyama tidak bisa menyimpan perasaannya sendirian saat mengetahui masalah putra dan menantunya. Ia yang berniat untuk bermalam bersama suaminya setelah sekian lama tidak berada di satu ruangan yang sama hanya untuk satu malam.

Ieyasu tentu merasa aneh dengan sikap mendadak dewasa dari istri sahnya itu. Tsukiyama pun menceritakan tentang perasaan yang sebenarnya sama-sama membuatnya bingung itu.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Baca Juga: Simak Jadwal Imsakiyah, Buka Puasa & Waktu Shalat di Wilayah Jabodetabek untuk Rabu 5 Mei 2021

“Kau tidak cemburu saat berbicara tentang Masako dan selirku yang lain. Apa kau membentur kepalamu atau semacamnya?” tanya Ieyasu.
Senyuman Tsukiyama terlukis semakin lebar. “Apa? Kau mengkhawatirkanku?”
Ieyasu menghela napasnya. Ia tahu dirinya salah memilih kata-kata. Meski nampak aneh, Tsukiyama masih sama dengan sifat tukang cari perhatiannya itu.


Tsukiyama terkekeh, membuat Ieyasu menatap Tsukiyama dari ekor matanya. Tsukiyama bisa merasakan beratnya tatapan sang suami, memaksanya untuk menjelaskan. “Aku baru saja membahas ini dengan Kame beberapa saat lalu,” ujar Tsukiyama, memulai penjelasannya.


Ieyasu menatap Tsukiyama, memberitahunya bahwa ia mendengarkan.
“Aku sedang tidak merasakan rasa cemburu seperti biasanya. Aku malah merasa lega. Aku tidak tahu apa maksud dari perasaan ini,” jujur Tsukiyama.

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta 5 Mei 2021 Ricky Balas Dendam Ke Elsa, Mama Sarah Marah Besar


“Belakangan ini aku menyadari sesuatu. Aku tidak sepintar dan secantik Masako. Wajar saja kalau sejak dua puluh dua tahun lalu kau sudah jatuh cinta padanya. Kau melakukan segalanya agar bisa bersama cinta hidupmu,” tatapan hangat Tsukiyama membuat Ieyasu membulatkan matanya dalam keterkejutan. Ieyasu tidak menyangka Tsukiyama akan membawa masalah pernikahan politiknya itu dengan sang istri sah.

Terlebih, Tsukiyama mengetahui apa yang selama ini Ieyasu sembunyikan darinya.
Tsukiyama tersenyum saat melihat wajah terkejut suaminya. “Mungkin mulai sekarang, aku akan berhenti mengkhawatirkan masalah pernikahan kita. Tapi, Ieyasu,” Tsukiyama mendongak, menatap manik suaminya.


Senyuman mungkin terlukis di wajah Tsukiyama. Namun, Ieyasu dapat melihat siratan kesedihan dan rasa takut dalam manik berlian Tsukiyama. “Aku ingin kau berjanji satu hal padaku!” pinta Tsukiyama.
“Apa yang kau mau?” tanya Ieyasu.

Baca Juga: Waspada! Covid-19 di Malaysia Meningkat, Prof. Zubairi Djoerban: Gelombang itu Bisa Mendekat ke Indonesia


“Aku tahu kau tidak mencintaiku. Tapi, jika aku tidak ada, aku ingin kau tetap menyayangi kedua anak kita. Mereka tidak ada hubungannya dengan hubungan kita. Mereka adalah diri mereka sendiri. Kau harus berjanji kau akan melihat mereka sebagai diri mereka sendiri, bukan sebagai anak yang lahir dari rahimku!” Tsukiyama mengucap permohonannya.


Kalimat-kalimat itu bagai ribuan jarum tajam yang menusuk hati Ieyasu. Hatinya langsung mati rasa. Ia tidak mampu merasakan hal lain selain kekhawatiran yang berkecamuk. “Kau mau kemana?” tanya Ieyasu dengan tajam.
“Eh?” bingung Tsukiyama. “Aku tidak akan kemana-mana. Kau pikir aku akan kemana?”


Ieyasu menghela napasnya. “Kau mengucapkan semua itu layaknya kau akan meninggalkan dunia ini besok. Ada apa? Siapa yang menyerangmu? Apa mereka mengancammu?”

Baca Juga: Tak Sanggup Membayar Gaji, 244 Pegawai non-PNS di Pemkab Pangandaran Diputus Kontrak


Meski terdengar dingin dan tidak berperasaan, Tsukiyama dapat mendengar kekhawatiran dalam nada bicara Ieyasu. Itu membuat Tsukiyama tersenyum. Suaminya, Tokugawa Ieyasu yang penuh kebanggaan akan melakukan apapun jika ada yang berani menentangnya. Apalagi jika itu menyangkut keluarganya, memastikan bahwa si penentang akan sangat menderita.


Tsukiyama menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja. Kalau pun ada yang menyerangku, aku yakin Nobuyasu yang akan mengamuk duluan, ‘kan?”


Cahaya lilin yang berwarna keemasan terpantul dalam manik Tsukiyama. Wanita itu mengalihkan pandangannya. “Entah kenapa, aku seperti ingin mengatakan itu padamu. Aku merasa jika aku terus memendamnya, hatiku akan menjadi sangat sesak,” Tsukiyama mengerat dadanya. Ia tersenyum pada Ieyasu. “Tapi sekarang, aku sudah merasa ringan. Aku sudah meyampaikan semuanya padamu.”

Baca Juga: Bambang Widjojanto Termakan Omongan Sendiri Soal KPK di Era Jokowi, PPI: Busuk!


Sekali lagi, Ieyasu menghela napasnya. Ia memperbaiki posisi berdiri. Ia berjalan mendekati Tsukiyama. “I-Ieyasu?” bingung Tsukiyama. Ia sedikit ketakutan karena ia sudah sangat lama tidak berada di satu ruangan yang sama dengan Ieyasu.


Ieyasu mendorong Tsukiyama untuk berbaring di atas futon. “Kau bilang kau ingin tidur denganku,” gumam Ieyasu. Ia pun segera bergabung dan menarik selimut futonnya. Ieyasu menarik pinggang Tsukiyama dan merangkul istrinya tersebut.


Tsukiyama yang mulai tenang pun terkekeh dengan manisnya. Ia semakin mendekat pada pelukan Ieyasu. “Rasanya, tepian jauh sedang memberiku berkah,” lirih Tsukiyama. “Kau hangat, Ieyasu.”***

Editor: Digdo Moedji

Tags

Terkini

Terpopuler