Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 7)

- 4 Mei 2021, 09:56 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY
GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, sifat iri dan cemburu Tsukiyama yang sangat kekanak-kanakan tiba-tiba menghilang. Tsukiyama menjelaskan bagaimana Ieyasu, suaminya jatuh hati pada Nyonya Saigo dan membuatnya menjadi selir kesayangannya.

Ia juga menjelaskan bagaimana Nyonya Saigo lebih pantas bersanding di samping Ieyasu dari pada dirinya. Putri Kame mulai khawatir dengan apa yang akan terjadi pada ibunya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Tuan Ieyasu, Nyonya Tsukiyama sudah menunggu Anda,” lapor seorang pelayan yang berdiri di depan pintu ruangan Ieyasu.
Sang panglima perang pun merasa bingung. Ia baru saja kembali dari ekspedisinya dengan Nobunaga. Rembulan sudah berada di titik tertingginya, menandakan saat itu sudah tengah malam.
 

“Apa Tsukiyama sudah menungguku sejak tadi?” tanya Ieyasu pada si pelayan.
Sebelum pelayan itu bisa menjawab, Ieyasu bisa mendengar suara seseorang mengalunkan sebuah lagu. Lebih tepatnya sebuah lagu pengantar tidur. Ieyasu dan pelayan tersebut terdiam sejenak. Ia mengenal alunan tersebut. Ieyasu sudah sering mendengar Tsukiyama mengalunkan lagu pengentar tidur itu untuk dua anak sulungnya, Nobuyasu dan Putri Kame.

“Kau boleh pergi,” ucap Ieyasu. Si pelayan pun membungkuk dan pamit untuk pergi.
Ieyasu menggeser pintu kamarnya itu. Namun sepertinya, Tsukiyama tidak menyadari keberadaan sang suami. Ia terlalu sibuk mengalunkan alunan indah tersebut. Ya, Ieyasu perlu mengakuinya. Ia sangat menyukai suara istri sahnya itu.

Ieyasu bisa melihat Tsukiyama dengan pakaian tidurnya. Ia menghadap cermin kecil seraya menyisir surai benangnya yang indah seraya seraya bersenandung. Ieyasu hanya terdiam, menunggu istrinya itu menyelesaikan kegiatan bersenandungnya dan menyadari keberadaannya.
 

Tsukiyama terhenti. Namun, nampaknya ia masih belum menyadari keberadaan Ieyasu. Ieyasu pun berniat untuk menyadarkan istrinya itu. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“S-suamiku!” Tsukiyama tersentak saat mendengar suara Ieyasu dan berbalik. Namun, senyuman langsung menyentuh bibir Tsukiyama. “Selamat datang kembali. Bagaimana ekspedisinya?”

Ieyasu membuka haorinya dan melipatnya sebelum ia simpan di lemari. “Kau menghindari pertanyaanku,” tutur Ieyasu dengan nada yang sedikit dingin.
Manik indah Tsukiyama mengikuti gerak-gerik suaminya yang sedang melepas zirah yang melingkar di bahu dan pinggangnya.
 
Ieyasu mengganti pakaiannya ke kimono yang lebih ringan dan nyaman untuk dipakai tidur. Ia bahkan merasa tidak masalah dengan Tsukiyama yang ada di ruangannya. Lagipula, Sudah hampir dua puluh tahun Ieyasu tidak ‘berbagi’ dengan istri sahnya itu.
“Apa aku tidak boleh mengunjungi suamiku sendiri?” tanya Tsukiyama.
 

“Aku kira kau membutuhkan sesuatu yang penting,” jawab Ieyasu.
“Ada apa? Apa Masako akan datang lebih awal?” tanya Tsukiyama lagi.
Ieyasu tidak mendengar nada marah, kecewa, sedih, atau pun kecemburuan dalam suara Tsukiyama. Itu membuatnya sedikit terkejut dan merasa aneh. Tidak biasanya Tsukiyama setenang itu saat membicarakan selir-selirnya.

“Aku yakin kau akan mulai tidur dengan Masako dan bayimu saat ia kembali ke istana ini. Kau tidak akan tidur dengan selirmu yang lain malam ini, bukan?” Tsukiyama kembali bertanya saat ia menyadari keheningan dari suaminya. “Kau akan menyakiti hati Masako jika ia tahu kau punya selir kesayangan lain selain dirinya.”

“Kau bersikap aneh malam ini,” jujur Ieyasu. Ieyasu menjaketkan haori tidurnya ke pundaknya sendiri. Ia pun bersandar pada dinding kayu di belakangnya, menunggu penjelasan Tsukiyama. Jika ia harus jujur, Ieyasu sedikit takut pada sifat Tsukiyama yang tenang seperti ini. Ieyasu sudah terbiasa dengan sifat Tsukiyama yang cemburuan, egois, dan keras kepala.
 

“Apa maksudmu?” Tsukiyama tersenyum dengan hangatnya.
“Kau tidak cemburu saat berbicara tentang Masako dan selirku yang lain. Apa kau membentur kepalamu atau semacamnya?” tanya Ieyasu.

Senyuman Tsukiyama terlukis semakin lebar. “Apa? Kau mengkhawatirkanku?”
Ieyasu menghela napasnya. Ia tahu dirinya salah memilih kata-kata. Meski nampak aneh, Tsukiyama masih sama dengan sifat tukang cari perhatiannya itu.

Tsukiyama terkekeh, membuat Ieyasu menatap Tsukiyama dari ekor matanya. Tsukiyama bisa merasakan beratnya tatapan sang suami, memaksanya untuk menjelaskan. “Aku baru saja membahas ini dengan Kame beberapa saat lalu,” ujar Tsukiyama, memulai penjelasannya.

Ieyasu menatap Tsukiyama, memberitahunya bahwa ia mendengarkan.
“Aku sedang tidak merasakan rasa cemburu seperti biasanya. Aku malah merasa lega. Aku tidak tahu apa maksud dari perasaan ini.”***
 
 
 
 
 
 

Editor: Digdo Moedji


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x