Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 12)

10 Mei 2021, 09:48 WIB
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY

GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya, Ieyasu menerima permintaan Tsukiyama untuk berbicara empat mata. Namun, Ieyasu tidak percaya bahwa istrinya datang untuk berdebat mengenai pernikahan putranya dengan Putri Toku.

Tsukiyama menyusun rencana untuk menjatuhkan Klan Takeda melalui perjodohan antara Nobuyasu dan seorang Putri Klan Takeda. Ieyasu tidak tahu apa yang membuat Tsukiyama rela mengambil resiko semematikan itu.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Lalu bagaimana dengan istrinya?! Kau tahu bagaimana ia selalu berpegang pada kartu raja milik ayahnya!” Tsukiyama benar-benar menaikan nada bicaranya.
Maksud Ieyasu menenangkan dan mengurangi rasa khawatir Tsukiyama malah langsung ditepas oleh sebuah perlawanan. Keduanya sama-sama tidak memiliki jalan keluar. Baik itu kegelisahan Tsukiyama ataupun keegoisan Ieyasu sama-sama tidak menyelesaikan masalah.

Baca Juga: Bupati Nganjuk Kena OTT KPK, Diduga Terjaring Kasus Jual Beli Jabatan


“Aku mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan keberadaan klan kita di sisi Klan Oda!” Ieyasu ikut membentak istri sahnya itu. “Tidak akan aku biarkan seornag pun menghalangiku!”


Tsukiyama mendorong suaminya itu, memaksa Ieyasu melepas genggaman pada bahunya. “Kau tidak akan pernah bisa mengerti perasaanku!” kesal Tsukiyama. “Aku tidak peduli jika Tuan Nobunaga harus memenggal kepalaku selama itu demi keselamatan kedua anakku! Katakan saja padanya aku berkhianat dan biarkan aku mati dengan tenang!”


“Sena, tarik kembali kata-katamu!” titah Ieyasu.
“Tidak akan!” ia berniat untuk membentak Ieyasu lagi, namun suaranya yang pecah mengkhianati niatnya itu. “Aku sudah tidak peduli lagi dengan apapun yang akan terjadi padaku. Aku sudah muak denganmu, Ieyasu!”
“Tunggu, Sena!” tahan Ieyasu.

Baca Juga: Gunung Merapi Semburkan Guguran Lava Pijar Sejauh 700 meter


Tsukiyama tidak mendengar panggilan suaminya itu. Ia pun melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut. Tangisan yang sudah Tsukiyama tahan pun pecah saat keluar dari ruangan tersebut hingga ia tidak menyadari malaikat maut sudah turun untuk menjemputnya.


“A-Ayunda Tsukiyama?”
Tsukiyama mendongak, mendapati Nyonya Saigo, selir kesayangan suaminya sedang menggendong seorang bayi laki-laki yang bukan lain adalah Hidetada di tangannya. Tsukiyama segera mengusap air matanya. “Apa kau baru saja bertengkar dengan Kakanda Ieyasu?” tanyanya. Maniknya melukiskan kekhawatiran dan rasa bersalah. “Apa kalian… bertengkar karenaku lagi?”


Hatinya yang sudah tidak lagi bisa merasakan kecemburuan pun membantunya untuk tersenyum, berharap itu bisa menghapuskan kekhawatiran Nyonya Saigo. “Tenang saja, kali ini aku hanya berselisih tentang putraku dengannya,” tutur Tsukiyama. “Aku permisi,” pamitnya.

Baca Juga: Sebut Jokowi Sebagai Presiden yang Mudah Disetir, Said Didu: Sering Sejak 2012 Tentang Mobil Esemka


“I-iya,” lirih Nyonya Saigo yang masih kebingungan.
Nyonya Saigo yang kebingungan pun memutuskan untuk kembali ke ruangan suaminya, mengingat malam sudah benar-benar membuat langit menjadi gelap dan berbahaya.


Namun, saat cahaya lilin yang ia bawa menunjukan apa yang tersembunyi dalam bayangan di dekat ruangan suaminya, Nyonya Saigo menemukan sosok malaikat kematian tersebut. Nyonya Saigo mendapati Putri Toku seperti sedang mengendap-ngendap di depan pintu ruangan mertuanya.


“I-Ibunda Saigo,” lirih Putri Toku. Tubuhnya bergetar entah karena rasa takut, amarah, atau kebingungan.
“Putri Toku, kau baik-baik saja?” tanya Nyonya Saigo. “Apa kau membutuhkan obat atau hal lain dari suamiku?” tanyanya lagi dengan halus.

Baca Juga: Hari Raya Idul Fitri 1442 H Jatuh Pada Hari Apa? Ini Penetapan dari Muhammadiyah dan Pemerintah


“A-aku tidak,” ia nampak kesulitan untuk berbicara. Rasa takut sudah mengambil alih pikirannya, menggelapkan matanya, dan membuat hatinya egois.
“Putri… Toku?” bingung Nyonya Saigo.


Air mata meluncur ke pipi Putri Toku, takut Nyonya Saigo mengetahui bahwa ia sedang mengendap-ngendap dan tidak sengaja mendengar sesuatu yang jelas tidak mengenakan hatinya. “Maafkan aku!” ujarnya pelan di anatar tangisan sebelum ia berlari meninggalkan Nyonya Saigo.
“E-eh? Putri?!”***

 
 

Editor: Digdo Moedji

Tags

Terkini

Terpopuler