Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 21)

- 11 Maret 2021, 08:08 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/

GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Nia mengatakan sesuatu yang akan membuat Nizar tertegun dan kehabisan kata-kata. Nia tidak akan pernah memaksa anak-anaknya untuk menjadi yang terbaik untuk dianggap istimewa. Bagi Nia, dengan bisa lahirnya Ruby dan Amber dengan mimpinya sendiri, itu sudah cukup untuknya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Ruby akhirnya bisa memalingkan wajahnya dan menghela napas. Namun saat ia membuka matanya, semua teman-temannya mengelilinginya, seakan bertanya bagaimana hasil dari pembicaraan tadi.
Ruby menatap satu per satu teman-temannya dengan serius. Namun, Felix berdecak kesal dengan permainan yang Ruby mainkan. “Kasih tahu aja, kenapa sih?!”

Ruby pun kembali tersenyum lebar dan terkekeh. Ia pun mengangkat lembar kertas yang Professor Nizar tanda tangani.
“AKHIRNYA!” girang semuanya. Rose sampai memeluk Ruby karena senang dan dari kejauhan, Felix tersenyum tipis pada Ruby.

Hari pun mulai berganti menjadi malam. Ruby dan Felix berdiam lebih lama di ruang klub untuk membereskan apa yang berantakan.
Felix menyadari bahwa Ruby semakin sering tersenyum setelah perbincangannya dengan Professor Nizar. Itu membuatnya aneh, namun dalam artian yang baik.

Baca Juga: Sinopsis Buku Harian Seorang Istri 11 Maret 2021: WOW! Alya Positif Hamil, Dewa Kena Karma dari Ayahnya?

Kapan terakhir kali Ruby terlihat tersenyum penuh semangat seperti itu? Apalagi, sudah seharian Ruby menangis karena banyak hal. Ada kemungkinan Ruby menangis lagi setelahnya.

“Felix, kamu gak ada niatan buat ngejenguk Olivia?” tanya Ruby tiba-tiba.
Ya, Felix menyesal telah menyangka Ruby baik-baik saja. Ruby masih memiliki banyak pikiran di balik senyum semangatnya itu.

“Kenapa emang?” tanya Felix tanpa menatap Ruby. Ia tetap asik melakukan apa yang sedang ia lakukan. Setelahnya, Felix menghela napasnya kasar.
“Kalau kamu takut buat kehilangan Olivia, harusnya kamu ada terus di sampingnya, dong! Kita gak tahu kapan yang kamu takutin itu kejadian!” ingat Ruby. Felix berbalik dan menatap Ruby tajam. “Kamu mau Olivia sedih gara-gara kesepian?!”

“Iya, biarin dia kesepian,” Felix asal mengucap, membuat Ruby terkejut. “Kamu pikir, selama dua tahun ini aku mikir apa aja? Apa yang bikin nilai aku pada turun kalau bukan karena Olivia?” Ruby menunduk. “Perasaan kayak gini gak akan bisa hilang dalam satu argumen. Kecuali, kalau kamu orang yang cukup istimewa buat nyelesainnya.”

Halaman:

Editor: Digdo Moedji


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah