Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 20)

- 10 Maret 2021, 08:02 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Ruby mengklaim bahwa ia bukan orang yang istimewa. Ia hanya putri dari orang yang istimewa.

Ia juga menceritakan kepada Nizar apa yang membuat Nia, ibunya menyerah pada semua mimpinya.

Karena mimpi-mimpi orangtuanya, didikan keduanya, dan orang-orang di sekitarnya, Ruby menjadi wanita yang memiliki nilainya sendiri.

Itu alasan mengapa Ruby bisa merasa dirinya sangat istimewa.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Saat di stasiun waktu itu, ibumu, Nia bilang dengan maniknya yang penuh harapan,” tutur Nizar, membuat Ruby kembali terkejut dan memperhatikan Nizar.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 10)

“Apa setiap orang yang kamu temui harus istimewa? Apa salah buat gak jadi orang yang istimewa?”suara lembut dan hangat Nia dari masa lalu berdenting di telinga Nizar seraya ia memberitahunya pada Ruby.

“Kayaknya, bukan konsep kayak gitu yang Erwin ajarin ke Ruby dan Amber. Seenggaknya, aku gak akan memperdebatkan dan mempermasalahkan ini terutama kalau itu nyangkut tentang anak-anakku. Aku gak masalah mau jadi apa anak-anakku ke depannya nanti. Mereka pasti punya mimpi mereka sendiri. Anak-anakku gak perlu jadi yang terbaik.”

Saat itu, stasiun serasa sangat hening saat Nia menatap kedua putrinya yang sedang bermain sambil menunggu kepulangan ayahnya dengan tatapan keibuan dan penuh kasih sayangnya.

“Habisnya, coba lihat mereka berdua,” pinta Nia, membuat Nizar menatap Ruby dan Amber yang masih kecil.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 11)

“Mereka terlalu imut buat aku. Mana mungkin aku bisa menangguhkan semua ambisi sama mimpiku yang berat banget ke anak-anak selucu dan seimut mereka. Aku jadi gak tega ngelakuinnya!”

Nia pun menatap Nizar dengan serius. “Makanya, buatku, anak-anakku udah istimewa. Karena mereka berdua bisa lahir dengan mimpi mereka sendiri!”

Manik Ruby lima belas tahun setelahnya, di hadapan Nizar pun bergemerlap dan mengkilap. Manik kecokelatannya berkaca-kaca setelah Nizar memberitahu Ruby tentang kalimat menyentuh dari ibunya tentang dirinya.

Hatinya berdegup kecang, memberi pertanda bahwa kehidupan yang ia miliki sekarang adalah berkat kedua orangtuanya, terutama ibunya.

Itu menjadikan Ruby manusia paling bahagia yang ada di bumi saat itu.

Nizar menatap Ruby dengan senyuman tipis.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 12)

“Selain mewujudkan mimpi ibumu, kamu udah jadi seperti apa yang ayahmu mau,” gumam Nizar dalam hati.

“Kamu punya nilaimu sendiri dan jadi perempuan yang bisa mencari orang-orang yang pantas untuk kamu, orang-orang yang buat kamu ngerasa istimewa,” lirihnya dalam diam lagi.

“Pada akhirnya, saya gak pernah menyesal buat berbalik dan ninggalin ibu kamu waktu itu.

“Eh?” bingung Ruby. Ia merasa air mata jatuh ke pipinya. “Aku kenapa?” tanya Ruby pada dirinya sendiri seraya mengusap air matanya.

Nizar tahu perasaan itu. Perasaan dimana seseorang akan merasakan kebanggaan berlebih dalam dadanya hingga orang itu mengekpresikannya dengan tangisan. Nizar pun tersenyum.

“Oh, ngomong-ngomong, saya denger kamu kurang enak badan sebelumnya,” akhirnya, Nizar mengalihkan topik pembicaraan yang sebelumnya sangat berat untuk Ruby.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 13)

Ruby yang selesai mengusap air matanya pun langsung mengangguk.

“Tapi, saya udah baik-baik aja. Mama juga udah telpon. Jadi, kayaknya semua udah gak masalah.”

“Begitu,” jawab Nizar singkat. Ia mengeluarkan sebuah pena hitam dari saku setelannya.

Ruby membulatkan maniknya. Ia melihat bagaimana tangan Nizar membuka lembaran proposal yang ia ajukan dan mengukir tanda tangannya dengan sempurna.

“Sepertinya, saya akan senang jika orang-orang di tempat kita bisa baca cerita yang kamu tulis. Termasuk Nia dan Erwin,” tutur Nizar seraya berdiri dari sofanya. Ruby tentu langsung ikut berdiri.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 14)

“Perusahaan saya akan menerjemahkan buku-bukumu dan mendistribusikannya ke seluruh Asia Tenggara.”

Nizar mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ruby pun membalasnya dengan senyuman bahagia. “Terima kasih,” tutur Ruby dengan girangnya. “Makasih, Om Nizar!”

Nizar terkejut dengan panggilan non-formal yang biasa Ruby gunakan dulu padanya sebagai teman ibunya, bukan dosennya.

Namun, Nizar pun tersenyum. “Tentu, senang bekerja sama dengan kamu, Ruby.”


Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah