RI Masuki Revolusi 4.0, Panca: Jahe Aja Impor, Gaya-Gayaan Ngomong Revolusi 4.0

- 26 Maret 2021, 13:11 WIB
Cipta Panca Laksana
Cipta Panca Laksana /


GALAJABAR – Pemerintah Indonesia kini tengah menggiatkan program revolusi industri 4.0. Namun, sekarang ini ada banyak yang masih belum paham dengan tujuan revolusi industri 4.0.
Program revolusi industri 4.0 sendiri bertujuan untuk menggerakkan perekonomian Indonesia masuk ke jajaran 10 besar dunia pada tahun 2030. Hal tersebut disebabkan karena program ini dapat tingkatkan produksi dalam negeri sampai ekspor.
Menurut Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014), revolusi industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional.
Sedangkan menurut Schlechtendahl dkk (2015), revolusi industri menekankan kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yakni lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.

Baca Juga: KLB Gelar Jumpa Pers di Hambalang, Demokrat AHY: Mereka Frustasi, Upaya Tutupi Rasa Malu
Jadi , revolusi industri 4.0 ialah zaman industri di mana semua substansi yang ada didalamnya bisa sama-sama berbicara secara real time kapan pun dengan berdasarkan pendayagunaan teknologi internet dan CPS untuk capai tujuan terwujudnya kreativitas nilai baru.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Cipta Panca Laksana mengaku heran dengan apa yang dilakukan pemerintah terkait program revolusi 4.0. Menurutnya, penerapan program tersebut tidak sinkron dengan fenomena impor yang kian hari kian menjamur di Indonesia.
Salah satu fenomena impor tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah terkait impor jahe. Oleh karena itu, Panca meminta kepada pemerintah untuk fokus menangani fenomena impor tersebut terlebih dahulu sebelum mengimplementasikan program revolusi industri 4.0 secara lebih jauh ke tengah masyarakat.
“Gaya2an ngomong revolusi 4.0, tahunya jahe aja impor,” tulis Panca yang dikutip Galajabar dari akun Twitter pribadinya, @panca66, 26 Maret 2021.

Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Istana Melancarkan Politik Belah Bambu, Pemuda FPI Dilemahkan, Pemuda Muhammadiyah Diraih
Cuitan tersebut ternyata menuai beragam komentar dari warganet. Salah satunya komentar dari pemilik akun @3D1_51R3G4R_77.
“Jahe merah dan jahe lokal lebih bagus khasiatnya Kenapa mesti Import ?? apakah dgn import semua masalah selesai ?? bagaimana dgn nasib para petani jahe kedepannya klu jahe saja mesti import ?? Slogan benci produk asing hanya manis di bibir kenyataan bertolak belakang PAHIT !!!,” tulis pemilik akun @3D1_51R3G4R_77.
Sebelumnya, Indonesia rupanya telah rutin mengimpor jahe pada tiap tahunnya. Nilainya capai angka ratusan miliar rupiah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia lebih banyak menerima impor jahe utuh daripada jahe bubuk.

Baca Juga: 1 dari 3 Oknum Polisi Unlawfull Killing 4 Laskar FPI Meninggal, Polri: Dia Kecelakaan
Sepanjang tahun 2020, keseluruhan impor jahe utuh atau yang sudah dihancurkan capai angka 19.252 ton atau seharga 16,92 juta dolar Amerika Serikat (AS). Bila dikonversikan ke rupiah, nilainya capai 243,3 miliar rupiah (kurs Rp 14.400 per dolar AS).
Dari angka tersebut, impor jahe utuh capai 19.204 ton atau seharga 16,68 juta dolar AS. Sedangkan jahe bubuk capai 48,39 ton atau seharga 245.436 dolar AS.
Meskipun begitu, impor jahe pada 2020 telah alami pelambatan ketimbang sepanjang tahun 2019, yang keseluruhannya capai 21.782 ton atau seharga 17.1 juta dolar AS.
Impor jahe utuh di tahun 2019 sekitar 21.749 ton atau seharga 16,99 juta dolar AS. Sedangkan jahe bubuk 33,74 ton atau seharga 118.731 dolar AS.
Dalam catatan BPS, negara dengan jumlah impor jahe terbesar ialah Vietnam, nilainya capai 5,41 juta dolar AS sepanjang 2020.
Disusul China capai 4,01 dolar AS juta dan India capai 1,58 juta dolar AS. ***

Editor: Digdo Moedji


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah