Setelah lulus dari Europenes Lagere School, Kartini ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, Kartini berlutut dan memohon pada ayahnya untuk melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang.
Ayah Kartini yang terkenal progresif itu pun melarang Kartini untuk “mengacaukan” tatanan istiadat bangsawan Jawa dan harus mematuhi tuntutan adat untuk dipingit dan harus bersedia menerima lamaran lelaki tanpa memiliki hak untuk bertanya, apalagi menolak.
Hari-hari awal dipingit, Kartini bosan, jenuh, dan sedikit iri dengan teman-teman maupun saudara-saudaranya yang bersekolah.
Adik-adik Kartini yang lebih muda (Roekmini dan Kardinah), masih bersekolah di sekolah rendah dan menanti giliran dipingit.
Sementara kakak laki-lakinya, RM Sosrokartono bernasib lebih beruntung sebagai laki-laki karena bisa melanjutkan sekolah di HBS Semarang dan ke Universitas Leiden, Belanda.
Hari-hari awal Kartini hanya dihiasi dengan kegiatan belajar memasak, membatik, dan menulis surat.
Sejak dipingit dan tidak boleh bersekolah maupun tidak boleh keluar rumah, semangat belajar Kartini hanya tersalurkan pada bacaan buku-buku Belanda yang dikirim oleh sang kakak dan sang moedertje (Ovink-Soer).
Bacaan Kartini tergolong dari karya sastra feminis dan anti perang, seperti Goekoop de-Jong Van Beek, Berta Von Suttner, Van Eeden, hingga Max Havelaar karya Multatuli yang menceritakan ketidakadilan dari cultuurstelsel/tanam paksa kopi.