Benang Merah (Chapter 8)

17 Januari 2021, 07:36 WIB
ilustrasi benang merah /Myriams-Fotos/Pixabay



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan Erwin menuangkan segala kegelisahannya dari apa yang telah terjadi melalui secangkir kopi pahit lagi.

Ia mengira dirinya sendirian dalam lamunan itu.

Ternyata, ada sosok seorang wanita yang mau menemaninya. Erwin menceritakan semuanya pada sosok wanita yang ia percaya itu.

Siapa sangka wanita itu bisa meneguhkan kembali hati Erwin yang hampir hancur dan menyerah?

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Sudah cukup larut saat itu. Erwin yang baru selesai berbincang dengan Bunda Maya di kedai kopi pun memutuskan untuk segera kembali.

Baca Juga: Angers vs PSG, Suntikan Tiga Poin Bawa Les Parisiens ke Puncak Klasemen Sementara

Mungkin malam itu sedikit lebih hening. Erwin yang sedang tenggelam dalam lamunannya itu sampai tidak mendengar suara kendaraan yang berlalu-lalang.

Pandangannya pun menatap kosong entah kemana.

“Aku tuh bukan babu kamu! Kamu paham gak sih sama perasaan aku?!”

Semua lamunan itu buyar saat Erwin mendengar suara teriakan melengking seorang perempuan.

Erwin terdiam sejenak, berusaha mengingat-ngingat apa ia mengenal pemilik suara tersebut atau tidak.

“Hah?! Kenapa mikir kayak gitu?! Kamu itu pacar aku!”

Suara lawan bicara dari perempuan sebelumnya ikut berteriak.

Baca Juga: Liecester vs Southampton, Gol Maddison dan Barnes Bikin Liverpool Turun ke Peringkat Kedua

Yang Erwin permasalahkan bukanlah suara mereka yang mengganggu, namun topik pembicaraan yang sedang mereka debatkan.

“Ngebagi biaya hidup berdua, memperlakukan aku kayak babu, apa itu bisa disebut pacar?! Yakin mau berkeluarga dengan kondisi seperti itu?! Gimana jadinya kalau kita punya anak?!”

Protes dari perempuan itu cukup untuk meyakinkan Erwin bahwa perempuan itu adalah kenalannya yang bukan lain adalah Nia Amanda.

Erwin pun bergegas menuju arah suara.

“Udah, cukup,” lirih Nia. “Aku gak kuat kalau kayak gini terus.

Terserah kamu mau apa, tapi aku pengen udahan,” pinta Nia yang sudah setengah menangis.

“Aku mau fokus kuliah, aku mau fokus kerja, keluarga aku juga khawatir sama kondisi aku kalau kayak gini. Jadi, kita udahan aja, ya?”

Baca Juga: Thailand Open: Praveen/Melati dan Greysia/Apriyani Berlaga di Final Siang Ini

Hening sejenak. Pria yang bukan lain adalah Nizar itu melepas lipatan tangan di dadanya.

Nia kira Nizar akan menyerah dan mengalah. Tapi, Nizar mengangkat tangannya lebih tinggi.

“Dasar, kau,” Nizar yang menahan emosinya pun akhirnya kelepasan.

Nia sudah menutup matanya, bersiap untuk merasakan telapak tangan tersebut mendarat keras di kulitnya.

“Kamu pasti udah diracunin biadab itu-“

Nia menutup matanya semakin erat.

Tapi, DAP! Jelas-jelas Nia mendengar suara keras dari tamparan tersebut. Tapi setelah beberapa saat, ia tidak merasakan apapun.

Perlahan, Nia memberanikan diri unruk membuka matanya. “E-Erwin?!” kaget Nia.

Baca Juga: Thailand Open : Langkah Anthony Ginting Kandas di Semifinal

Saking terkejutnya, Nia bahkan tidak mampu menarik semua pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada orang yang kini sudah menahan tamparan dari Nizar.

“Oh, halo. Ada laki-laki yang gak paham nilai perempuan ternyata,”
Seketika itu Nizar langsung menarik tangannya.

Ia langsung memasang tampang kecutnya. “Apa-apaan? Gausah ganggu hubungan orang!” ancam Nizar.

“Ganggu hubungan orang?” ulang Erwin, memastikan apa yang ia dengar itu benar. “Kalau gitu, maaf udah gak sopan.

Tapi kalau liat perempuan kayak gini ‘kan jadi gak tega,” celoteh Erwin.

“Kayaknya kamu terlalu percaya diri sama tampang kamu, Nia.”

Nia membulatkan manik cokelatnya yang masih berkaca-kaca, terkejut dengan penuturan dari Nizar.

Baca Juga: Belasan Santri di Cianjur Tertimpa Reruntuhan Bangunan Pondok Pesantren

“Kamu berhasil narik perhatian salah satu karyawan teladan di kantormu.”

“Oh, karyawan teladan?” sekali lagi, Erwin mengulang perkataan Nizar. “Aku kayak orang penting aja,” kekehan menusuk Erwin terdengar.

“Nia!” pannggil Nizar, seakan memberi ancaman.

Erwin sadar Nia ketakutan. Terlihat dari bagaimana Nia menggenggam erat kain setelan Erwin.

Erwin langsung mengangkat salah satu tangannya, menghalangi Nia dari Nizar.

“Denger, ya. Apa benang merah seseorang bakal tersambung kalau benang satunya kayak gini? Itu namanya bukan jodoh.”

Nizar menahan amarahnya dari omelan yang Erwin keluarkan.

“Kalau dipaksain, biasanya ikatannya gak akan kuat dan gak akan bertahan lama, jadi bakal percuma, mending gak usah disambung dari awal, kan?” tutur Erwin lagi dengan santainya.

Baca Juga: Aktivitas Vulkanik Meningkat, Status Gunung Semeru Masih Waspada

“Nyambung benang itu gak murah. Daripada ngabisin uang, kan?” tanya Erwin lagi. “Ah, iya. Calon dosen, aku lupa.”

Merasa Erwin sudah kelewatan, Nia langsung menahannya. Erwin langsung menatap Nia yang menunduk.

Nia menggelengkan kepalanya, meminta Erwin untuk berhenti. Ia memberanikan diri untuk maju dan menghadap pada Nizar.

“Kita udahan aja, Nizar,”. Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal

Tags

Terkini

Terpopuler