Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 18)

- 22 Mei 2021, 09:25 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, firasat buruk Tsukiyama dan Ieyasu diperjelas dengan kedatangan Nobunaga di Istana Tokugawa. Nobuyasu merasa curiga akan kedatangan Nobunaga bersamaan dengan menghilangnya sang istri, Putri Toku.

Namun, alasan Nobunaga jauh-jauh datang dari Kastil Azuchi ke Istana Tokugawa sudah jelas.

Ia datang untuk memenuhi permintaan putrinya dan mengirim seorang malaikat maut untuk seseorang.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 8)

“Selamat datang di Istana Tokugawa, Nobunaga. Apa perlu aku siapkan ruangan untukmu?” sambut Ieyasu sedikit lebih sopan.

Ia tidak perlu menggunakan istilah ‘Tuan’ saat sedang bersama Nobunaga, mengingat ia adalah salah satu teman masa kecil si pemimpin tiran tersebut.

“Tidak perlu repot-repot, Ieyasu. Aku tidak akan lama.” Nobunaga tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada Tsukiyama.

“Aku hanya ingin meminta pertanggungjawaban seseorang.”

Ieyasu tahu apa yang Nobunaga maksud. Apalagi setelah Nyonya Saigo memberitahu keberadaan Putri Toku di depan ruangannya saat ia berbicara dengan Tsukiyama di malam sebelumnya.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 9)

Ieyasu menjadi sangat yakin. Putri Toku memanggil ayahnya ke Istana Tokugawa dan memberitahu apa yang ia dengar dari amukan Tsukiyama saat itu.

Sekali lagi, ini membuktikan bahwa firasat Ieyasu selalu benar. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang.

Sementara itu, Junpei yang juga tahu apa yang dimaksud Nobunaga segera mendekatkan dirinya pada Tsukiyama dan Putri Kame, berniat untuk melindungi tuannya.

Tsukiyama mulai tidak tahan dengan permainan perlahan yang membunuhnya itu. Ia hanya ingin Nobunaga segera mengatakannya.

Kata-kata yang selama ini ia tunggu. Kata-kata yang akan melepasnya dari segala siksaan yang ia rasakan.

“Nyonya Tsukiyama, putri dari Sekiguchi Chikanaga, istri sah dari Tokugawa Ieyasu, aku meminta pertanggungjawabanmu!” Nobunaga menunjuk Tsukiyama.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 10)

Yang ditunjuk hanya bisa menelan ludahnya kasar. Jantung Tsukiyama berdegup dengan kencang.

Nobunaga menatap Ieyasu, sahabat lama sekaligus aliansinya. “Ieyasu, aku ingin kau mengeksekusi istri sahmu, Nyonya Tsukiyama atas tuduhan bersekongkol dengan Klan Takeda dan berusaha untuk menggulingkanku!”

Suara keterkejutan dari para pelayan, penjaga, dan orang-orang yang ada di istana terdengar dengan sangat jelas.

Putri Kame langsung menarik sang ibu ke pelukannya, tidak membiarkan siapapun mendekati ibunya. Nobuyasu dan Junpei bahkan langsung menarik pedang mereka.

Sementara itu, Tsukiyama mulai bergetar ketakutan di pelukan putrinya. Ia kira, ia sudah siap untuk mendengar kalimat-kalimat tersebut. Namun pada kenyataannya, Tsukiyama masih sama takutnya.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 11)

Ia bukan takut akan kematian. Ia takut jika harus meninggalkan Ieyasu dan kedua anaknya, Nobuyasu dan Putri Kame.

“Apa maksudmu?! Ibunda tidak mungkin-” sebelum Nobuyasu bisa melanjutkan aksi protesnya, Ieyasu mengangkat tangannya, memerintahkan Nobuyasu untuk berhenti.
“A-Ayahanda, itu bohong, bukan? Ibunda tidak mungkin berkhianat seperti itu!” tanya Nobuyasu, meminta kepastian dari sang ayah.

“Aku sudah menyuruhmu diam, Nobuyasu!”

Nobuyasu langsung tersentak saat Ieyasu membentaknya. Di situlah Nobuyasu menyadarinya. Tubuh sang ayah bergetar hebat, entah karena disebabkan oleh kemurkaan atau rasa takut.

“Apa kau punya bukti yang kuat atas pengkhianatan itu hingga istriku harus dikorbankan seperti ini?” tanya Ieyasu.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 12)

“Aku memberimu kesempatan untuk membuktikan kesetiaanmu pada aliansi kita. Tapi jika kau tidak bisa melakukannya, aku terpaksa membunuh tidak hanya istrimu, tapi semua orang yang terikat dengannya,” tutur Nobuyasu dengan tenang, seakan kehilangan Ieyasu tidak akan berpengaruh apapun pada aliansinya.

Ieyasu memang terlihat tenang, namun tidak dengan hatinya. Hatinya berkecamuk dengan kemurkaan. Bukan pada Tsukiyama ataupun Nobunaga, tapi pada dirinya sendiri yang tidak mampu mengambil keputusan.

Setelah mendengar jawaban Nobunaga yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya, Ieyasu menatap Nobunaga dengan tenang.

“Izinkan aku untuk berkata jujur. Percaya atau tidak, ini terserah padamu. Pada akhirnya, kau tetap akan melakukan segala cara untuk menghabisi mereka yang menghalangimu, bukan?” tanya Ieyasu.

Ieyasu menghela napasnya. “Itu benar, istriku membuat rencana untuk menikahkan putra sulungku, Nobuyasu dengan Putri Tei, putri sulung dari Takeda Katsuyori.” (bersambung)***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah