Benang Merah (Chapter 10)

19 Januari 2021, 08:23 WIB
ilustrasi benang merah /Myriams-Fotos/Pixabay



GALAJABAR - Pada chapter Sebelumnya dikisahkan, Nia telah mengambil keputusannya untuk meninggalkan sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi.

Di sisi lain, Nia juga meminta kejelasan akan semua perlakuan Erwin, sesuai apa yang Bunda Maya sarankan.

Pada akhirnya, Nia sadar akan makna dari sulitnya menyambung benang merah.

Simak cerita bersambung selanjutnya karya Sadrina Suhendra.

Nia berjalan di samping Erwin. Perjalanan mereka terasa sunyi.

Hanya angin malam saat itu yang berbisik pada keduanya.

“Ngeliat kamu pacaran yang emang bawaannya udah dari hari itu emang nyenengin, ya?” tanya Erwin yang memecah keheningan tersebut.

“Jadi wajar aja kalau yang kita bahas itu gak pernah nyambung ke titik yang aku mau.”

“Jadi karena itu kamu mulai diem-diem?” tanya Nia.

Baca Juga: Benang Merah (Chapter 1)

“Ada yang aneh banget. Entah karena aku yang baru suka sama orang atau gimana. Rasanya susah banget nelaah sifat orang tuh,” jujur Erwin.

Nia berhenti berjalan, membuat Erwin ikut berhenti dan kembali menoleh, memastikan bahwa tidak ada yang salah.
“Erwin, aku itu,” lirih Nia.

“Aku itu mutusin buat pisah sama Nizar karena aku ngerasa dijadiin babu terus sama dia. Kamu juga yang bilang sendiri kalau dia gak tahu nilai perempuan.”

Nia memalingkan pandangannya dan tersenyum. “Makanya, ada orang yang nolong aku kayak tadi itu udah bikin aku lega banget.”

Nia berhenti tersenyum. “Tapi kayaknya, masih ada yang salah. Entah aku yang masih takut atau gimana.”

Erwin sepenuhnya berbalik untuk menatap Nia. “Intinya?”
Erwin sudah sangat yakin kalau ia memahami apa yang Nia rasakan. Yang tidak ia pahami adalah apa inti dari percakapannya saat itu.

Nia kembali membuatnya bingung.

“Jadi intinya, mungkin kamu bakal lebih seneng kalau sama perempuan lain yang lebih stabil emosinya. Gak kayak aku sekarang.”

“Kalau kamu?” tanya Erwin sedingin angina malam itu.

“Kalau aku? Entahlah. Aku mau stabilin emosiku dulu kayaknya.”

Hening sesaat. Erwin tidak tahu dia harus mulai dari mana.

Baca Juga: Benang Merah (Chapter 2)

“Gimana kalau aku bilang gini?” tanya Erwin sebelum bertanya lagi. “Kenapa gak sama aku aja?”

Nia terkejut dan langsung menatap Erwin. “Apanya?”

“Soal penstabilan emosi, kenapa gak kita lewatin bareng-bareng?” tanya Erwin lagi.

Manik cokelat Nia membulat sempurna.

“Kalau kamu sama aku, aku bakal bantuin kamu ngerjain tugas, aku juga bakal bantuin tugas kuliahmu."

"Kalau kamu harus lembur, aku bakal nungguin. Aku gak bakal ngasih kamu harapan palsu atau bikin kamu nangis."
"Mungkin aku juga bakal bikin kesalahan, makanya aku milih kamu yang benerin hal itu. Terakhir, aku bakal bantuin kamunulis skripsi.”

Mungkin itu terdengar seperti janji bodoh bagi kebanyakan orang.

Tapi, dari nada bicara Erwin yang serius dan dingin, Nia yakin bahwa Erwin tidak main-main dengan janjinya itu.

Angin dingin mungkin hanya berpihak pada Erwin dan menghapus rona merahnya, tidak seperti pada Nia.

“Alasan kenapa aku mau sama kamu bukan karena aku mau nolong kamu dari laki-laki gak tahu nilai perempuan tadi. Tapi karena aku suka dan butuh perempuan yang bisa berlaku sesukanya tapi masih benar kayak kamu,” lanjut Erwin.

Baca Juga: Benang Merah (Chapter 3)

“Ya, janji kayak gitu harusnya gak cukup.” Untuk pertama kalinya dala hidup Nia, ia melihat Erwin memalingkan wajahnya saat berbicara dengan seseorang. Erwin tersenyum pasrah dengan perasaan yang sedang ia rasakan saat itu.”

“Erwin, kamu mau langsung ngejalanin ini ke arah yang serius?” ragu Nia.

Erwin tersenyum dan kembali menatap Nia. “Dipikir dulu, baru ngomong!” canda Erwin.

Nia semakin terkejut dengan sifat tersembunyi Erwin yang ternyata bisa tersenyum dan tidak kaku seperti biasanya. Nia ikut tersenyum manis.

“Setelah dipikir, tadi itu pernyataan cinta, ‘kan?”

“Aku gak nyatain cinta. Aku cuman nyatain janji aku. Kepercayaan itu nomor satu, ‘kan?”

Kini Nia bisa tersenyum sepenuhnya. Ia mengulurkan tangannya. “Janji?”

Sambil tersenyum, Erwin membalas uluran tangan tersebut dan menjawab, “janji!”

Baca Juga: Benang Merah (Chapter 4)

Layaknya kisah seribu satu malam di Timur Tengah, mungkin malam itu akan menjadi malam ke seribu dua milik Nia dan tentunya, malam itu akan menjadi malam terindah dalam hidupnya.

Tidak butuh waktu lama, jika benang tersebut memang pas di jari kelingking kedua insan Tuhan, maka itu akan tersambung dengan sendirinya.

“Kalau gitu, bulan depan aku bakal ketemu kakak-kakak kamu itu mungkin?” ujar Erwin tiba-tiba nenberi ide selagi berjalanan.

“Eh?” bingung Nia. “Erwin, tunggu!” Nia pun sedikit berlari untuk mengejar Erwin. “Gak kecepetan?”

“Akunya lagi pengen serius,” singkat Erwin pada poin utamanya.

“Duh,” gerutu Nia. “Gak kecepetan?” sekali lagi, Nia mengulang pertanyaannya.

“Oh, kalau seminggu lagi?” saran Erwin lagi.

Baca Juga: Benang Merah (Chapter 5)

“Makin kecepetan!” teriak lembut Nia. Erwin hanya terkekeh. “Kakakku itu pada nyeremin, loh!”

“Peduli aku apa?”

“Emang Erwin banger, ya?”

“Iya, emang aku banget.” (Bersambung)***

Editor: Brilliant Awal

Tags

Terkini

Terpopuler