Benang Merah (Chapter 1)

- 10 Januari 2021, 10:22 WIB
ilustrasi benang merah
ilustrasi benang merah /Myriams-Fotos/Pixabay



GALAJABAR - Mulai Minggu 10 Januari 2021 ini, galajabar akan menampilkan cerita bersambung "Benang Merah" karya Sadrina Suhendra.

Selamat membaca...

Kantin mungkin terlihat lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena sebentar lagi akan ada acara besar yang harus mereka ikuti.

Jadi tugas yang mereka kerjakan sangat banyak. Termasuk untuk dua wanita ini.

“Kuliahmu gimana?” tanya salah satu dari mereka.

“Gosah ditanya!” gerutu lawan bicaranya setelah menaruh nampan berisikan makanan. “Makin sini, makin cape!” lanjutnya yang nampak kesal.

“Memang, sih.”

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 11)

Gadis yang tadi menggerutu itu menyuap makanannya. Mereka tidak punya banyak waktu lagi sebelum kembali bekerja.

“Nia, tahu Erwin?” tanya temannya itu tiba-tiba.

Gadis bernama Nia itu pun langsung mendongak dan menyimpan sendoknya. “Erwin? Yang mana?” bingungnya.

“Itu, loh! Editor yang lagi banyak diomongin!”

Nia hanya mengangkat bangkunya dan kembali menyantap makanannya. “Gak inget, tuh! Tapi aku denger soal gosipnya.”

Teman yang ada di hadapannya langsung menepuk keningnya. “Masa karyawan sepopuler dia aja gak tahu!” gerutunya.

“Tapi, Jen. Dua minggu terakhir aku sering dapet surel isinya bukti transfer. Pas aku tanyain ke keluargaku, mereka bilangnya belum ada yang transfer uang ke aku selama dua mingguan itu."

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 12)

"Aku kira itu cuman salah kirim atau apalah, tapi jumlahnya lumayan,” curhat Nia.

“Mungkin Erwin?”

“Jeni, jangan halu!” sergap Nia pada temannya yang sering disapa Jeni itu.

“Mana mungkin, kan? Dia karyawan teladan gitu. Beda banget sama aku.”

Jeni hanya terkekeh. Ia meneguk tehnya. “Bisa jadi, kan? Gak ada yang gak mungkin di dunia ini,” ujarnya.

Nia hanya memutar bola matanya karena jengkel. Ia pun menyelesaikan suapan terakhirnya dan mengucap doa.

“Katanya, dia nyimpen hati sama sesama reporter di kantor kita.” Jeni kembali membuka topik gosip tersebut.

“Gak mungkin kita,” ujar Nia dengan nada datar.

“Kita?” bingung Jeni. “Kalau aku sih, iya. Aku ‘kan udah nikah. Mungkin aja kamu.”

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 13)

“Mana mungkin,” ucap Nia lagi dengan nada sedikit menggerutu.

“Wah, pada makan di sini?”

Nia dan Jeni langsung menoleh dengan sapaan seseorang. “Oh, Andi. Katanya masih harus nyortir foto?” Jeni menyapa terlebih dahulu saat melihat rekannya.

“Lapar, sial!” kekeh Andi yang langsung mendudukan diri di samping Jeni.

Tapi sepersekian detik kemudian, Jeni menyadari sesuatu. “Kalau Kak Erwin?” tanya Jeni sedikit sopan, mengingat memang Erwin lebih senior darinya.

Benar, yang tadi Jeni sadari adalah keberadaan Erwin Sianturi, orang yang sebelumnya ia dan Nia bicarakan.

“Tugasku udah selesai dari tadi, sih. Cuman nemenin Andi doang,” jawabnya dengan nada datar yang khas.

“Oh, makasih,” ucapnya saat kopi yang ia pesan sampai.

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 14)

“Ganteng, dingin, teladan emang idaman, ya?” gumam Jeni dalam hati.

“Ndi, pinjem korek,” pinta Erwin yang mulai bosan.

“Izin ngerokok,” gumamnya setelah mendapat apa yang ia minta.

Ia tidak ingin membuat orang-orang terutama dua wanita di hadapannya merasa tidak nyaman.

“Silahkan,” balas Jeni.

Erwin menaruh gulungan tembakau tersebut di antara bibirnya.

Ia segera mengembalikan korek yang ia pinjam. Setelah satu isapan, Erwin menatap Nia. “Nia Amanda, ‘kan?” tanyanya datar.

“E-eh? Iya.” Entah bagaimana, Nia langsung merasa gugup. Ia mungkin sedikit memasukan gosip sebelumnya dengan Jeni ke dalam hati.

Sebagai orang yang paling tahu bagaimana sifat Nia dan segala seluk beluk dari Erwin, Jeni dan Andi menyeringai, tahu keduanya mulai melangkah.

“Besok pada ke lapang, ‘kan?” tanya Erwin.

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 15)

“Iya,” jawab Andi dan Jeni bersamaan.

“Aku kuliah pagi, jadi aku nyusul siangnya.” Nia menjawab berbeda.

“Eh? Gak bolos aja, tuh?” tanya Andi yang nampak menyayangkan.
“Pertandingan besok gede banget, jadi bakal penuh. Kalau datang siang pasti bakal susah.”

“Mahasiswa teladan,” ejek Jeni.

“Ya, aku juga pengennya bolos,” ketus Nia. “Tapi mau gimana lagi? Lagian, laporanku besok gak sebanyak kalian.”

“Semangat anak semester-semester akhir, nih!” kekeh Andi. “Oh, iya. Buat rapat nanti sore yang presentasi siapa?”

“Aku,” datar Nia. Raut wajahnya kembali menggelap dan genggamannya pada gagang cangkir semakin menguat.

“Nah, ‘kan? Keliatan gugupnya!” balas Jeni.

Andi terkekeh. “Bawa santai aja kali.”

“Topik rapat hari ini apa memangnya?” tanya Jeni sebelum meneguk tehnya.

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 16)

“Prioritas berita, sama kayak rapat sebelumnya,” jawab Nia yang mulai malas.

“Harusnya senior-senior yang presentasi. Mereka yang harusnya lebih paham soal ini, ‘kan?”

Erwin menghembuskan asap rokok yang baru saja ia hisap. “Makanya tadi pagi aku ngirim email. Gak masuk?” tanya Erwin dengan santai dan dinginnya.

Andi, Jeni dan Nia membulatkan mata mereka karena terkejut.

Andi dan Jeni berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa dan teriakan mereka, melihat tanda-tanda pasangan baru akan berlayar.

“Itu akunmu?!” kaget Nia.

“Baru sadar?”

Nia menepuk keningnya. Sifat dingin dan tak peduli sekitar yang Erwin miliki membuatnya sedikit kelelahan.

Mungkin karena sifat Erwin berbanding terbalik dengannya atau karena Erwin yang memang lebih dewasa. “Kalau gitu, soal uang-“

TAP! Erwin memadamkan percikan api pada rokoknya, memotong pertanyaan Nia.

Ia tahu kemana arah pembicaraan itu akan melaju. “Udah beres?” tanya Erwin. “Kita masih punya banyak kerjaan.”


Andi yang memang sudah selesai makan pun langsung berdiri. “Oke, kalau gitu kita duluan!” pamit Andi. “Goodluck, Nia.”

“Makasih,” Nia tersenyum akan doa keberuntungan tersebut.

Baca Juga: Dead Apple: Without Me (Chapter 17)

Tapi, “duluan.”

Waktu terasa berhenti begitu saja. Semua di sekitarnya terasa melambat saat Nia merasakan seseorang mengacak surai hitamnya.

Debu berwarna merah muda menodai pipinya, membuat pipinya terasa panas.

Setelah Erwin dan Andi menghilang di balik pintu kantin, semua kembali berjalan normal. “Eh?!” rusuh Nia. “Apaan tadi?!”

Jeni berusaha semampunya untuk menahan tawa sebelum akhirnya ia tertawa lepas karena tidak tahan.

“Kayaknya, kamu deh cewek yang selama ini lagi satu kantor gosipin.”

“Gak mungkin,” gerutu Nia yang masih terkejut karena afeksi mendadak yang Erwin berikan padanya.

“Tadi liat sendiri, ‘kan? Bahkan kamu sendiri yang ngerasain!”

Kebimbangan langsung menyelimuti hati Nia. “Tapi…” (bersambung)**

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x