Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 7)

- 25 Februari 2021, 08:13 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Felix tiba-tiba bertanya sesuatu yang tidak terduga tentang rasa takut akan kehilangan seseorang, membuat Ruby terkejut.

Namun, Felix langsung menepas pertanyaan itu. Hal yang lebih mengejutkan adalah Felix yang menyadari bagaimana Ruby selalu melamun saat menatap Felix.

Felix merasa tatapan itu tidak biasa hingga bisa melubangi tubuhnya. Ini tidak terjadi sekali atau dua kali, namun semenjak Ruby pertama kali bertemu dengan Felix.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Malam yang hening pun hampir terlewati. Jam dinding menunjukan pukul tiga dini hari.

Baca Juga: Bocoran Sinopsis Ikatan Cinta 25 Februari 2021: Reyna Cek DNA, Al Belum Bisa Menerima Kenyataan

DUKK! Felix yang sedang asik berselancar di media sosial tiba-tiba mendengar suara dentuman dari meja Ruby, membuatnya bangkit dari posisi tidurnya di sofa. “Ruby, kenapa?” tanya Felix.

“Ah, gak apa. Aku cuman ngantuk sedikit tadi, jadinya aku kejeduk meja,” tutur Ruby.

Tapi Felix sangat mengenal Ruby. Ia tahu apa yang disembunyikan oleh Ruby.

Felix pun segera bangkit dari sofanya dan berjalan menuju dispenser untuk mengambil air hangat.

Setelah selesai, Felix langsung mendekati Ruby. Ia menyelipkan tangannya ke balik rambut Ruby dan menyentuh bagian belakang tengkuknya, membuat wanita muda itu sedikit tersentak.

“Dingin,” lirih Felix. “Tapi dia keringetan?” bingungnya.

Di saat Felix berniat menyentuh kening Ruby, gadis itu malah menahannya. “Aku gak apa-apa, kok!” pungkas Ruby dengan sedikit menaikan nada bicaranya.

Baca Juga: Liga Champions, Langkah Manchester City Makin Mantap, Tundukkan Borussia Moenchengladbach 2-0

Dengan tangannya yang terbebas, Felix menurunkan tangan Ruby dan menatapya dengan tatapan khawatir. “Beneran?”
Namun, sebelum Ruby bisa menjawab, indera penciuman Felix menangkap aroma sesuatu. “Bunga iris,” lirih Felix.

“Hm?” bingung Ruby. “Oh! Itu aroma parfum aku, kayaknya.”

“Oh,” gumam Felix. “Wanginya aneh, tapi enak,” jujur Felix seraya memalingkan pandangannya.

Namun, Felix tidak mendengar ocehan apapun dari Ruby yang memang biasanya mengoceh saat dipuji.

“Ngomong sesuatu do-“ baru mau mengomel, Felix terkejut saat mendapati Ruby sudah menatapnya dengan rona merah di pipi, membuat Felix ikut merona.

Ia juga bisa melihat arunika kayu milik Ruby berbinar dan mengkilap karena pantulan cahaya.

“Tch, biasanya juga ngomel kalau dipuji!” kesal Felix yang langsung pergi ke sofanya lagi. “Nantinya aku malah keliatan kayak laki-laki mesum!”

“Kamu emang mesum kali,” canda Ruby.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 1)

“Hm? Mau aku praktekin?” goda Felix dengan nada membosankannya itu.

“Felix mesum!” teriak Ruby.

“Jangan ngawur!” toyor Felix halus pada kepala Ruby.

Malam pun berganti menjadi pagi. Ruby dan Felix secara bersamaan meregangkan otot-otot mereka yang mulai terasa sakit dan menciptakan bunyi yang senada, membuat keduanya tiba-tiba tertawa.

“Pagi,” sapa seseorang dari pintu masuk.

Felix dan Ruby langsung menoleh. “Oh, pagi!” jawab Felix dan Ruby bersamaan saat melihat Rose yang datang.

Ruby hanya tersenyum tipis.

“Ruby, lihat deh hasilnya!” girang Rose yang berlari kecil menuju Ruby.

Ia menunjukan ponselnya. Ruby terkekeh pelan. “Bagus banget, Rose! Aku suka!” puji Ruby sambil tersenyum manis pada Rose.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 2)

“Oh, iya. Sama maaf ya kemarin aku gak bisa bales pesanmu. Aku lagi sibuk nugas. Tapi udah aku lihat, kok!”

“Ah, syukur deh. Aku kira kamu marah sama aku. Tapi, bagus ‘kan poster promosinya?!” tanya Rose sekali lagi. Ruby hanya mengangguk sambil tersenyum manis.

“Pagi!” “Pagi,” sapa dua orang secara bersamaan. Ruby, Felix, dan Rose lansung menoleh ke arah pintu. Menampakan Helena dan Han.

“Pagi, kalian berdua!” sapa Ruby.

“Oh, Ruby. Beberapa desain ilustrasi buat sampul buku pertama sama kedua tinggal kamu pilih,” lapor Han.

“Hm, iya. Kirimin aja lewat email. Nanti kita pilih bareng-bareng,” jawab Ruby.

“Ruby, dua sponsor yang kemarin aku chat ke kamu minta run-down acara yang baru. Katanya batasnya nanti siang,” lanjut Helena yang melapor.

Baca Juga: Liga Champions, Madrid Atasi Atalanta, Peluang ke Perempat Final Melebar

“Iya, nanti aku minta bantuan Cherrie buat ngirimin berkasnya.”

Felix sadar ada yang tidak beres. Dari cara Ruby berbicara atau tertawa. Mungkin firasatnya semalam akan benar-benar terjadi. Itu jelas membuatnya sangat khawatir.

“Selamat pagi,” semua kembali menoleh kea rah pintu
“Selamat pagi, Professor Lee,” sapa seluruh anggota klub sastra dan bahasa pada dosen penanggung jawab mereka.

Namun, Professor Lee tidak sendiri. Ia ditemani dengan seorang pria berjas rapi.

Ruby pun langsung berdiri dari kursinya dan berjalan untuk memimpin klubnya.

Namun, manik Ruby langsung membulat sempurna saat ia melihat siapa pria yang ada bersama Professor Lee.

Ia sepertinya mengenal siapa pria paruh baya tersebut.

Baca Juga: Flashback, 25 Februari; Gitaris The Beatles, George Harrison Dilahirkan

“Dia Professor Nizar Dirgantara dari Universitas Pendidikan Indonesia. Dia datang ke sini sebagai satu dari tiga delegasi asia yang akan mengajar di kampus ini selama dua minggu penuh,” jelas Professor Lee.

“Dan untuk persoalan distribusi ketiga buku dalam acara kita nanti, beliau lah yang akan mendistribusinya hingga ke seluruh asia tenggara.”

“Mohon kerja samanya!” ucap Ruby pada diiringi dengan seluruh anggota klub lainnya.

Pria bernama Nizar itu mengangguk dengan tatapan serius dan mengintimidasinya, membuat siapa pun akan mengira kalau dia tipikal dosen yang sangat tegas dan tidak kenal ampun.

“Saya tidak bisa asal mendistribusi sesuatu, terutama dalam bidang percetakan. Saya akan melihat dulu kelayakan ketiga buku yang kalian buat. Saya akan lebih senang jika saya bisa berbicara sebentar dengan penulisnya,” Professor Nizar menatap Ruby.

“Ruby Sianturi Amanda.”

Baca Juga: Soal Kerumunan Massa di Maumere, Politisi Demokrat: Aturan Penindakan Prokes Berlaku pada Lawan

Tiba-tiba saja, bulu kuduk Ruby langsung dibuat merinding. Terakhir dia merasakan hawa seperti itu adalah saat ia ditelpon ayahnya karena sengaja menunda keberangkatan pesawat dari Sydney ke Bandung dan bodohnya, Ruby lupa memberitahu orangtuanya.

“Kak Fahri bisa tahan sama dosen kayak gini? Aku yakin Mama bakal kerepotan banget kalau bener dia yang jadi suaminya,” lirih Ruby dalam hati, menyadari siapa sosok Professor Nizar yang sebenarnya.

Ruby pun tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Dengan senang hati. Kita bisa mengobrol setelah jam kerja Anda dan jam kelas saya selesai mungkin?” tawar Ruby.

“Ide yang bagus,” puji Professor Nizar.

Bersambung..***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah