GALAJABAR - Kebijakan untuk melarang ekspor CPO dan produk turunannya dinilai belum bisa efektif untuk menstabilkan harga minyak goreng. Hal tersebut diungkapkan Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
"Pengusaha sawit yang kehilangan pendapatan dari ekspor CPO akan mengompensasikan kerugian ke marjin harga produk turunan, termasuk minyak goreng. Apalagi, melihat harga CPO di pasar internasional naik 9 persen seminggu terakhir karena larangan ekspor," kata Bhima dalam pernyataan di Jakarta, Jumat, 29 April 2022.
Ia juga mengatakan kebijakan itu belum tentu menurunkan harga minyak goreng dalam waktu dekat mengingat harga patokan CPO masih tinggi sehingga minyak goreng kemasan yang masih menggunakan mekanisme pasar bisa semakin mahal.
Saat ini, nilai ekspor CPO tercatat pada kisaran 3 miliar dolar AS atau setara Rp43 triliun per bulan, sehingga pelarangan juga akan menghilangkan potensi penerimaan devisa, mengingat saat ini 12 persen total ekspor nonmigas berasal dari pengapalan CPO.
"Devisa yang hilang, justru mengalir ke pemain minyak nabati pesaing Indonesia seperti Malaysia misalnya yang menikmati limpahan permintaan, atau pemain soybean oil dan sunflower oil juga dapat rezeki," katanya.
Harga juga dinilai belum akan stabil karena permintaan masyarakat atas minyak goreng sedang meningkat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan warung makanan seiring dengan adanya momentum Lebaran.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan, saat ini pihaknya sedang berkomunikasi dan berkoordinasi dengan asosiasi pelaku usaha sawit baik di sektor hulu maupun hilir.