Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 32)

- 6 Juni 2021, 12:25 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Tsukiyama memberikan pesan terakhirnya pada Ieyasu yang sedang dalam dilema. Ia juga berusaha untuk menyemangati dan menghibur suaminya tersebut.

Di tengah murkanya, Ieyasu mengakui perasaannya pada Tsukiyama.

Di kala Ieyasu mengira ia tidak mencintai Tsukiyama, lalu mengapa Ieyasu bisa merasakan luka yang teramat menyakitkan saat harus kehilangannya?

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 22)

“Apa yang bisa aku lakukan tanpamu, Sena? Aku ini bukan siapa-siapa tanpamu!” hati Tsukiyama seperti tercabik-cabik dengan pengakuan menyakitkan dan menyentuh dari Ieyasu.

“Maafkan aku,” lirih Tsukiyama lembut. “Sama seperti apa yang aku katakan pada Nobuyasu, ambisiku ada pada ambisimu. Karena itu, kau harus terus berjuang untuk memenuhi ambisimu itu."

"Kau tidak harus selalu maju dan mengambil keputusan yang ceroboh. Mundurlah sesekali dan tunggu waktu yang tepat untuk menggapai apa yang kau mau. Siapa tahu, seisi kekaisaran akan berpihak padamu dengan cara seperti itu!” kekeh Tsukiyama.

“Ini tidak adil,” lirih Ieyasu penuh rasa sakit. “Kau tahu sejak awal aku tidak akan bisa membuatmu diam kecuali jika aku menuruti keinginanmu!” kesal Ieyasu semakin menjadi.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 23)

Tsukiyama hanya mengangguk. “Maafkan aku, aku tahu ini tidak adil. Aku egois karena aku tidak ingin rasa sayangmu untuk Nobuyasu dan Kame hilang, jadi aku harus selalu memastikan rasa sayangmu untuk mereka tidak akan lenyap."

"Mereka, Nobuyasu dan Kame adalah satu-satunya warisan terakhir yang bisa aku titipkan padamu.” Tsukiyama mengusap pipi Putri Kame yang tertidur.

“Karena itu, aku mohon. Lindungi mereka sekuatmu, Takechiyo,” pinta Tsukiyama.

“S-Sena,” Ieyasu terkejut, tidak menyangka Tsukiyama akan memanggil nama kelahirannya. Ia pun menarik dirinya dan menatap Tsukiyama.

“I-Ibunda,” Ieyasu dan Tsukiyama menoleh pada Putri Kame yang sepertinya sedang bermimpi, membuatnya berbicara dalam tidur."

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 24)

Tsukiyama segera menarik selimut untuk menjaga Putri Kame dan Nobuyasu tetap hangat. Ia juga mengusap pipi Putri Kame, memberitahunya bahwa sang ibu masih ada bersamanya, seperti dalam lagu pengantar tidur sebelumnya.

“Aku selalu bertanya-tanya, apa benar aku rela berkorban demi Kame dan Nobuyasu? Apa aku tidak akan menyesalinya?” tanya Tsukiyama, masih fokus pada anak-anaknya yang sedang tertidur.

“Aku yakin jauh di dalam hatiku aku sangat takut akan kematian. Jauh di dalam sana aku akan mengutuk anak-anakku sendiri karena telah mengirimku pada ujung tombak kematianku.”

“Tapi, Ieyasu,” Tsukiyama menatap sang suami dengan penuh kasih sayang. “Setiap aku melihat mereka tersenyum, aku akan berpikir, ‘ah, benar juga. Beginilah seharusnya semua hal berjalan. Penuh senyuman dan tawa."

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 25)

"Aku yakin beban suamiku akan sedikit terangkat saat melihat senyuman anak-anaknya.’ Dan dari situlah, aku menyadarinya. Aku tidak hanya berkorban demi kedua anak kita, tapi juga demi dirimu. Dan dengan senang hati, aku akan melakukannya.”

“Sena, kau adalah yang pertama untukku dan aku… kau akan selalu berada di hatiku, apapun itu! Kau harus tahu, hati ini adalah milikmu,” bagai dirasuki oleh iblis cinta yang membuatnya berkata jujur, Ieyasu menyatakan perasaan yang tidak bisa ia katakan pada Tsukiyama selama dua puluh dua tahun pernikahannya.

“Berjanjilah padaku, layaknya kau berjanji pada anak-anak kita! Setelah esok, kau akan selalu ada untukku."

"Kau akan selalu mendengar panggilanku dan memperhatikanku dari sana!” titah Ieyasu yang lebih terdengar seperti permohonan.

Ieyasu menarik Tsukiyama dan mencium kening sang istri. Dan mungkin, itu adalah ciuman terakhir Tsukiyama dan Ieyasu.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 26)

Tidak ada yang tahu. Tsukiyama bahkan berharap ia bisa menghentikan waktu hanya untuk merasakan afeksi khusus yang suaminya berikan padanya. Tsukiyama menutup matanya, merasakan kehangatan Ieyasu.

Ia pun tersenyum tipis. “Hm, aku berjanji. Bahkan setelah aku meninggalkan tepian dekat, aku akan selalu bersamamu. Selalu, aku akan selalu mencintaimu.”

“Sena,” panggil Ieyasu, menarik dirinya sendiri.

“Ya, suamiku?”

“Biarkan aku menjadi dosa terakhirmu,” pinta Ieyasu dengan tatapan sayup dan penuh kekalahan.

Tsukiyama menggelengkan kepalanya, menolak permintaan sekaligus pertanyaan tersebut. “Kau adalah berkah terakhirku.”

Di tengah gelapnya malam yang menyimpan banyak kebenaran pahit, kebohongan yang manis masih bisa mereka rasakan. Di bawah sinar rembulan merah, luka lama yang dalam kembali terbuka.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 27)

Seorang Tokugawa Ieyasu akan bertanya-tanya mengapa ia harus kehilangan satu hal terkasihnya lagi. Namun, kali ini ia mengetahui jawabannya. Itu karena ia merasa dirinya masih kurang kuat untuk melindungi apa yang menjadi miliknya.

Di tepian dekat dimana kehidupan manusia hanya sebatas mimpi, dampak dari kepemimpinan Oda Nobunaga akan bertahta kekal.

Dia akan menghakimi siapa saja yang berani menghalanginya bahkan hingga para dewa tidak mampu menghentikannya.

Dia adalah iblis yang mengambil bentuk manusia untuk menodai benang cinta yang suci.

Ieyasu dan Tsukiyama membagi cinta mereka untuk terakhir kalinya. Selagi malaikat kematian sudah menunggunya di ambang pintu ruangan, bersiap untuk mengayunkan sabit kematiannya.(bersambung)***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x