Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 22)

- 26 Mei 2021, 08:56 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Tsukiyama menjawab pertanyaan Putri Toku dengan jujur. Ia mengaku bertemu dengan pesuruh Klan Takeda. Namun, pendirian Tsukiyama sudah teguh.

Ia meminta maaf pada Nobunaga karena hanya selama itu Tsukiyama bisa mengabdi pada sang tiran sebagai istri sah Ieyasu.

Sementara itu, Putri Toku mulai merasa bersalah menjauhkan Nobuyasu dan ibunya. Sayangnya, semua sudah terlambat.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Tapi, aku memiliki beberapa permintaan terakhir,” tutur Tsukiyama.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 12)

“Katakan!” titah Nobunaga.

“Aku dengar putriku, Kame sedikit kesulitan dalam menjalani tugas meja Nobumasa, suaminya. Jadi satu, aku ingin Junpei melayani putri sulung Klan Tokugawa, Putri Kame,” sebut Tsukiyama.

“Junpei, kau bisa menyanggupinya?” tanya Tsukiyama lagi pada ajudannya.

“Dengan penuh kehormatan, Nyonya.” Junpei membungkukan tubuhku.

“Kame, kau mau menerimanya?” tanya Tsukiyama pada putrinya.

Tubuh Putri Kame yang bergetar tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia sedang menahan tangis. Putri Kame pun mengangguk pelan.

Tsukiyama hanya bisa tersenyum tipis. “Aku akan memastikan mendapat izin Nobumasa sebelum itu. Tenang saja,” tuturnya.

Tsukiyama kembali menatap Nobunaga. “Kedua, aku ingin diberi waktu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang belum aku selesaikan sebagai istri pemimpin Klan Tokugawa.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 13)

Aku juga ingin diberikan waktu setidaknya semalam penuh untuk menghabiskan malam terakhirku bersama suami dan anak-anakku.”

“Dan ketiga,” Tsukiyama menatap Ieyasu.

“Sebelum aku dieksekusi, Ieyasu, aku ingin kau melemahkan syaraf-syaraf tubuhku. Bagaimana pun, aku tetap takut dengan pedang yang akan memenggalku nantinya. Karena itu, aku mohon, anggap ini sebagai permintaan terakhirku untukmu,” pinta Tsukiyama dengan senyuman yang sangat manis dan tulus.

Semua langsung terasa hening. Ieyasu terdiam sejenak, berpikir apa ia bisa menyanggupi permintaan istrinya itu. Namun, tidak terlalu lama, Ieyasu pun mendongak dan menatap Nobunaga.

“Aku harus berterima kasih karena kau telah memberiku kesempatan untuk membuktikan kesetiaanku padamu, Nobunaga,” tutur Ieyasu dengan pahitnya.

Ieyasu mengerat giginya sebelum ia menatap Tsukiyama. “Dan Sena…”

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 14)

Hati Tsukiyama langsung terasa berdebar dan sakit karena sesak saat Ieyasu tiba-tiba memanggilnya dengan nama asli dan panggilan masa kecilnya.

Ia seperti ingin menangis karena itu bisa saja terakhir kalinya Ieyasu memanggil nama aslinya.

“Aku akan menyanggupi permintaanmu.”

Saat itupun, tangisan terdengar memenuhi istana. Para pelayan saling berpelukan, menyalurkan rasa sedih, takut, dan tidak percaya bahwa salah satu tuan mereka, Tsukiyama akan segera pergi dan tidak akan kembali lagi.

Para pengawal dan pengikut Ieyasu memalingkan wajah mereka, tidak berani untuk menampakan kesedihan yang tercipta dari peraturan kejam milik Nobunaga.

Putri Kame yang sudah tidak bisa menahan diri pun menjatuhkan dirinya ke lantai dan menutup mulutnya, tidak ingin orang-orang mendengarkan tangisnya yang semakin menjadi.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 15)

Junpei berlutut di samping Putri Kame untuk menenangkannya.

Nobuyasu menjatuhkan pedangnya. Suara gesekan antara logam dan lantai kayu menciptakan suara yang nyaring di telinganya sendiri. Padahal, suara tangisan orang-orang istana terdengar lebih nyaring dan memekakkan.

Ia mengepal kedua tangannya dan tubuhnya bergetar menahan tangis. Namun, setelah cinta hidupnya mengkhianati dirinya sendiri, kini hatinya lah yang mengkhianatinya.

Nobuyasu tidak mampu menahan air matanya. Bibir bawah yang sudah ia gigit untuk menahan tangisan tersebut pun mulai mengeluarkan cairan merah segar, menandakan sekuat apa ia menggigitnya.

Sementara itu, Ieyasu hanya menunduk dalam diam. Firasat buruk yang menyerang pikirannya kini sudah benar-benar terjadi.

Ieyasu hanya berdiri di sana seperti sebuah patung tak bernyawa. Tubuhnya mati rasa dan jantungnya terasa sesak.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 16)

Ieyasu menghela napasnya yang bergetar tak karuan. Setetes air mata pun meluncur bebas dari ekor mata kirinya.

Kesedihan menggerogoti Ieyasu dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tidak pernah sekali pun Ieyasu meneteskan air mata kesedihannya untuk seseorang.

Jika ia diperbolehkan untuk berkata jujur, baru kali ini ia merasakannya. Meski dengan fakta yang jelas dari bibirnya bahwa Ieyasu tidak begitu mencintai Tsukiyama, Ieyasu tetap merasa separuh jiwanya mulai memudar dan akan segera menghilang.

“Apa yang aku lakukan?” tanya Ieyasu dalam hatinya. “Apa yang telah aku lakukan selama ini untuknya? Apa aku telah menyia-nyiakan dirimu, Sena?”

Seseorang baru akan menyadari seberharga apa sesuatu yang ia miliki saat ia sudah kehilangan hal berharga tersebut. Seperti layaknya Ieyasu, ia baru menyadarinya.
Seberharga apa Tsukiyama dalam hidupnya, ia baru menyadari semua itu saat Tuhan akan memisahkan Tsukiyama dari dirinya.(bersambung)***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah