Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 31)

- 5 Juni 2021, 13:30 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan Tsukiyama menasihati Nobuyasu dan Ieyasu (secara tidak langsung) mengenai seorang pemimpin yang ideal untuk Klan Tokugawa.

Dan malam terakhir Tsukiyama pun harus berakhir dalam duka dan kenangan. Tsukiyama menyanyikan lagu pengantar tidurnya pada Nobuyasu dan Putri Kame untuk terakhir kalinya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Tsukiyama memastikan kedua anaknya sudah benar-benar tertidur. Hingga saat itupun ia tidak berani merobohkan benteng kesedihannya.

Ia tidak berani menangis di dekat Ieyasu. Ia takut Ieyasu kembali menyebutnya sebagai perempuan cengeng seperti dulu saat ia menangis karena gagal memanah tiga puluh anak panah berturut-turut.

Ieyasu yang melihatnya pun langsung berjalan mendekati Tsukiyama dan mendudukan dirinya. Ia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang istri.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 21)

Tsukiyama hanya tersenyum tipis. “Apa neraka akan meleleh? Tidak biasanya kau bermanja seperti ini padaku,” kekehan Tsukiyama yang terdengar menyedihkan itu langsung menusuk hati Ieyasu.

“Kau juga sebaiknya tidur. Bisa berbahaya jika kau malah jatuh sakit karena kekurangan tidur. Jangan sering-sering menambah pekerjaan para pengikutmu. Kasihan juga mereka.”

Ieyasu hanya menarik Tsukiyama semakin erat, mencari dengan serakah kehangatan tubuh istrinya, memastikan bahwa Tsukiyama masih hidup dan hangat.

“Suamiku, apa ada yang menganggu pikiranmu?” tanya Tsukiyama. Ieyasu hanya terdiam. “Ini soal Nobuyasu, ‘kan? Kau mengkhawatirkan janjimu padaku malam itu,” tebak Tsukiyama.

Saat Ieyasu tidak menjawab, Tsukiyama dibuat semakin yakin. Ieyasu seperti sudah memprediksikan apa yang akan Nobuyasu lakukan jika Tsukiyama pergi.

“Kau tahu, Ieyasu? Saat aku aku memintamu untuk terus menjaga kedua anak kita dan melihat mereka sebagai diri mereka sendiri, maksudku adalah aku ingin kau melindungi setiap keputusan mereka."

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 22)

"Aku ingin kau menuntun mereka pada keputusan yang benar dan tidak akan menjerumuskan mereka. Jika mereka telah memiliki suatu keputusan, aku ingin kau membantu mereka menyempurnakan keputusan tersebut.

"Beritahu mereka apa keputusan itu baik atau tidak. Jika tidak, tuntun mereka pada keputusan yang setidaknya sedikit lebih baik, keputusan yang tidak akan mereka sesali, keputusan yang baik untuk mereka dan orang-orang di sekitar mereka. Apa itu jelas?” tanya Tsukiyama setelah penjelasannya yang panjang lebar.

“Berapa kali aku harus mengatakan ini? Kau sangat berisik!” gerutu Ieyasu. Dengan menggerutu seperti itu, Tsukiyama tahu Ieyasu mendengarkan kata-katanya. Ia pun tersenyum.

“Kenapa? Kau bersedih layaknya kau akan kehilangan seluruh wilayah kekuasaanmu,” kekeh Tsukiyama.

“Kau benar,” jujur Ieyasu. “Aku merasa bodoh!”

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 23)

“Eh, ada apa? Kau hanya akan kehilanganku. Aku yakin kau akan segera menikahi seseorang untuk kau jadikan istri sahmu yang baru. Atau baiknya lagi, kau bisa mengangkat Masako sebagai istri sahmu,” ujar Tsukiyama. “Lagipula, kau masih punya banyak selir. Pilihlah sesukamu!”

“Sena, kau berisik!” Ieyasu melepas salah satu tangannya dan menepuk-nepuk pipi Tsukiyama halus. Sekali lagi, Ieyasu menggerutu pada istri sahnya itu.

Tsukiyama mengusap surai rambut Ieyasu. “Suatu hari nanti, aku yakin, tanah ini akan sepenuhnya menjadi milikmu. Kau sudah mengorbankan banyak hal demi melindungiku dan anak-anakku. Karena itu, aku harap kepergianku bisa meringankan sedikit beban-bebanmu untuk mencapai tujuan itu.”

“Hentikan! Kau berisik!” kali ini, Ieyasu terdengar lebih marah dari sebelumnya.
Namun, suaranya yang bergetar mengkhianati amarahnya itu. Tsukiyama bisa merasakan tubuh Ieyasu bergetar karena menahan tangis.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 24)

“Jika kau pergi, siapa yang akan marah-marah padaku di siang bolong karena merasa cemburu dengan selir-selirku?! Siapa yang akan menganggu jam kerjaku saat suasana hatimu sedang memburuk?!” kekesalan terdengar di setiap pertanyaannya.

“Aku kira aku tidak menginginkanmu! Aku kira aku ingin kau menghilang dari pandanganku! Aku kira-” Ieyasu kesulitan melanjutkan kata-katanya. “Aku kira aku tidak mencintaimu,” jujurnya.

Ieyasu merobohkan seluruh benteng harga dirinya di hadapan Tsukiyama. Ia menangis.

“Aku benci mengakuinya. Meski aku selalu mendorongmu pergi, kau tidak pernah mendendam padaku. Kau tidak pernah sekali pun mengabaikan tugasmu sebagai istriku dan yang lebih buruknya lagi, kau bahkan menuntunku menjadi pemimpin hebat seperti sekarang!"

"Perlahan dan penuh kesabaran, kau selalu ada untukku saat aku membutuhkan dan lebih memilih untuk ikut jatuh bersamaku saat aku terpuruk,” kalimat Ieyasu pecah dan gemetar.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 25)

“Apa yang bisa aku lakukan tanpamu, Sena? Aku ini bukan siapa-siapa tanpamu!” (bersambung)***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x