Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 23)

- 27 Mei 2021, 09:52 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Tsukiyama memiliki beberapa permintaan terakhir untuk Nobunaga dan beberapa orang istana, termasuk Ieyasu.

Ia ingin Ieyasu turut mengambil bagian dalam eksekusinya nanti.

Ieyasu baru menyadari seberharga apa Tsukiyama baginya dan menganggap dirinya telah menyia-nyiakan sang istri.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Hari berganti menjadi malam. Hawa duka masih memenuhi seisi Istana Tokugawa.

Terutama untuk mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Tsukiyama, seperti Putri Kame.

Putri kedua Ieyasu dari Nyonya Nishigori berjalan dalam sunyinya malam.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 13)

Ia baru saja selesai membantu ibunya mengerjakan tugas istana dan berniat untuk kembali ke ruangannya.

Namun, dalam gelapnya lorong istana, gadis tersebut menemukan setitik cahaya kecil. Ia melamun sejenak, memperhatikan cahaya kecil tersebut.

“Siapa yang ada di gudang senjata malam-malam begini?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Gadis itu mendekati cahaya kecil yang berasal dari gudang senjata tersebut.

Ia mendapati pintunya terbuka, membuatnya bisa masuk dengan leluasa.

Saat ia melangkah masuk, ia melihat seorang wanita sedang terduduk di dekat lilin dengan pisau di tangannya.

Gadis berusia empat belas tahun tersebut kebingungan dan sedikit khawatir, berpikir bahwa wanita di hadapannya akan melakukan hal yang tidak-tidak.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 14)

Namun, saat ia mengetahui siapa wanita di hadapannya itu, ia bisa sedikit bernapas dengan lega.

Ia pun menyandarkan dirinya pada bingkai pintu.

“Ayunda, sangat berbahaya bagimu untuk berdiam di tempat seperti ini sambil memegang pisau seperti itu,” ujarnya.

“Diam!” tutur wanita di hadapannya yang bukan lain adalah Putri Kame. Suaranya tidak terdengar seperti bentakan.
Suaranya malah terdengar bergetar. “Aku sedang tidak ingin berkomunikasi dengan seseorang bernama Toku!” gerutunya.

“Eh, jangan hanya karena aku juga bernama Toku, kau jadi ikut membenciku!” gerutu si gadis.

“Aku ini Putri Tokugawa Toku, bukan Putri Oda Gotoku! Berbeda, bukan?! Aku ini adikmu!”

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 15)

“Karena itu, anak kecil tidak akan mengerti!” kekesalan Putri Kame pada adik perempuannya itu hanya karena suasana hati.

Ia tidak benar-benar membenci Putri ‘Tokugawa’ Toku. Ya, Putri Toku dari Klan Tokugawa merupakan putri kedua Ieyasu yang merupakan adik seayah Putri Kame.

Adik Putri Kame tersebut mengerti mengapa kakaknya kesal saat mendengar nama Toku.

Meski jika Tsukiyama sempat tidak menerimanya di Istana Tokugawa, Tsukiyama tetaplah orang yang mengajarinya banyak pelajaran penting mengenai tugas-tugas istana.

Ia pun menghela napasnya dan tersenyum. “Ya tapi, kalau kau benar-benar tidak ingin mendengar nama itu, kau bisa memanggilku Putri Ofu atau Putri Tomiko!” tuturnya dengan senyuman manis.

Putri Kame terdiam sejenak. “Ofu itu nama panggilan kecilmu dan Tomiko…” Putri Kame berusaha untuk mengingat panggilan itu.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 16)

“Orang-orang di kota memanggilku begitu!” girang Putri Ofu.

“Ah, iya. Aku lupa kau cukup sering mengunjungi banyak kedai teh di kota hingga bisa sangat populer begitu,” gumam Putri Kame.

Putri Kame menatap pisau di tangannya. “Hey, Ofu,” panggil Putri Kame pada adik seayahnya itu.

“Apa, Ayunda?”

“Kau pasti sudah tahu, sebagai putri sulung pemimpin Klan Tokugawa, aku mendapat tugas yang setara dengan putra sulung dan calon penerus klan,” curhat Putri Kame.

“Aku lebih sering diajarkan berfilosofi daripada berpuisi. aku lebih suka bermain go daripada menari."

"Yang lebih anehnya lagi, sejak kecil aku sudah diajarkan strategi berperang, bukan tatakrama seorang putri bangsawan."

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 17)

"Semua itu aku pelajari demi melindungi kastil dan membela diri saat harus. Kadang, aku merasa terasingkan saat sedang bersama putri lain,” jujur Putri Kame seraya terkekeh miris.

Kilas balik dari gambaran langit yang membara bersama dataran yang terbakar kembali ke benak Putri Kame.

Empat tahun lalu, ia berada di tengah medan pertempuran bersama suaminya, membantu aliansi ayahnya bersama Nobunaga untuk membela domain masing-masing.

Di pertempuran saat itu, malaikat maut bisa menikamnya kapan pun tanpa peringatan.

Namun, dengan gagah berani Putri Kame mengangkat senjatanya, tak gentar akan musuh-musuh di hadapannya.

Ia bahkan mengawal salah satu prajurit ayahnya ke wilayah musuh dan semakin mendekati kematian.

Namun, rasa takut akan kehilangan suatu nyawa baru ia rasakan di luar medan pertempuran dan bukan dirinya yang akan mati, tapi ibunya sendiri.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 18)

Saat ia sedang mengangkat senjatanya, ia tidak merasa gemetar atau merinding.

Perasaan yang biasanya memicu adrenalin seperti itu baru terasa saat ia mendengar ibunya akan dieksekusi.

Ia akan kehilangan orang yang melahirkan dan membesarkannya. Tentu, itu sama saja kehilangan nyawanya sendiri.

Putri Kame kembali terkekeh dan mengepal gagang pisau yang sebelumnya ia genggam.

“Apa yang mereka harapkan dariku? Seorang putri yang anggun dan penuh dengan kebanggaan? Jangan bercanda!” makinya pada diri sendiri.

“Aku ini putri sulung dari pemimpin Klan Tokugawa, Tokugawa Ieyasu : Putri Kame! Wajar kalau aku berpikir untuk melakukan ini,” akhir kalimatnya terdengar pecah.
Tangan Putri Kame bergetar.

“Aku sudah berjanji pada Ayahanda, Pertempuran Nagashino adalah pertempuran terakhirku."

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 19)

"Aku berjanji padanya bahwa aku hanya akan mengangkat senjataku untuk melindungi orang-orang yang dekat denganku. Tapi aku gagal! Aku gagal melindungi ibuku sendiri. Aku gagal melindungi Ibunda!” (Bersambung)***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x