Mereka yang Kau Tulis (Chapter 8)

- 28 Januari 2021, 09:30 WIB
Ilustrasi menulis.
Ilustrasi menulis. /StockSnap/pixabay.com/stocksnap



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, kondisi hati Leona yang kacau menggiring Leona untuk melakukan sesuatu yang harusnya tidak ia lakukan.

Leo sudah memiliki perasaan tidak enak dengan apa yang akan adik perempuannya itu lakukan.

Dan benar saja, Leona mengingkari janjinya untuk tidak menulis cerita apapun dan malah diperburuk dengan novel romansa yang ia tulis.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Leona menatap tumpukan kertas dan pena yang ada di atas mejanya. Ia berniat untuk mengambil pena tersebut namun tangannya terhenti.

Ia merasa seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tidak menulis. Leona pun tersenyum miris pada dirinya sendiri. Ia menutup mata dengan tangan kanannya.

“Ayunda, aku masuk, ya?” izin seseorang yang bukan lain adalah Leon. Leona membuka matanya dan menoleh ke arah pintu. “Oh, Leon?” sapanya.

Leon menyimpan nampan berisikan sarapan yang sebelumnya belum Leona sentuh di meja.

“Ayunda tidak menyentuh sarapanmu hari ini. Makanlah!” pinta Leon.

Baca Juga: Selebgram Sekaligus TikToker Cantik Asal Medan, Tasya Revina Bakal Rilis SIngle Tanpa Masa Lalu

“Terima kasih, Leon.” Leona tersenyum tipis pada adiknya itu. Leon terdiam.

Maniknya seperti menatap pada tumpukan kertas yang ada di atas meja. Leona merasa Leon seperti sedang menunggu sesuatu.

Ia pun bertanya, “Leon, apa ada yang kau butuhkan?”
“Oh, soal itu. Sebenarnya, itu bukan apa-apa.” Leona dapat mendengar keraguan dalam kalimatnya itu.

Aroma sup yang mulai mendingin perlahan menghilang dari indera penciuman Leona.

Ia hanya perlu menunggu Leon untuk jujur. Ia juga tahu kalau adiknya itu tidak pandai menyembunyikan sesuatu.

Tak kunjung bersuara, Leona menghela napasnya. “Leon, kalau kau mau tahu tentang ceritaku, lebih baik kau membaca dulu novel Telaga Penyesalan karya Ibunda.

Aku akan membuat versi baru dari novel tersebut,” tangan Leona menggenggam gelas air putih yang ada di nampan.

Leon pun tersadar dari lamunannya. “Ah, iya! Ayunda, kalau kau membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku! Aku akan selalu membantumu!” ucap Leon yang sedikit berteriak.

Baca Juga: Man United vs Sheffield: Tim Papan Bawah Sukses Permalukan Setan Merah di Old Trafford

Leona tersenyum tipis. “Terima kasih, Leon. Aku pasti akan memberitahumu jika aku membutuhkan sesuatu.”

“Kalau begitu, aku permisi, Ayunda.”

Leona mengangguk dan melihat punggung adiknya yang perlahan menghilang di balik pintu.

Setelah menutup pintu, Leon tidak langsung pergi. Ia menunduk selagi punggungnya menghadap pintu.

Ia membenci keadaan dimana ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk keluarganya, terutama untuk kakak perempuannya itu.

Di sisi lain pintu, Leona menengadah, menahan air matanya untuk tidak jatuh.

“Apa yang salah denganku?” lirihnya, bertanya pada diri sendiri. “Apa yang harus aku lakukan, Ibunda?”

Malamnya, sang putra sulung, Leo Rouen baru kembali dari markas militernya.

Dari balik jendela ruang kerjanya, ia semakin bisa melihat terangnya bulan saat itu.

Tapi lagi-lagi, sosok Leona yang memandangi bulan kembali terlihat olehnya.

Leo menatap adiknya itu dengan serius. “Leona, apa yang sedang kau rencanakan?” ia mengulangi pertanyaan yang sama. “Kenapa kau mengingkari janjimu?”

Bagai déjà vu, Leona nampak kembali tersentak dan kembali ke kamarnya. Perlahan namun pasti, ia kembali menggoreskan tinta pada kertasnya.

“William Giovanni, aku akan menyelesaikan cerita ini dan menghadapimu dengan benar,” lirih Leona dalam hati.

“Apa yang Ibunda turunkan padaku dan kutukan apa yang ia tinggalkan untukku, aku akan menjalaninya.”

“Biarkan ini menjadi cerita terakhir tentang kebebasanku,” pinta hatinya.

Namun, angin yang sangat dingin tiba-tiba menusuk kulitnya.

Tapi itu tidak lama. Leona langsung merasakan cahaya berwarna kehijauan menghangatkan tangannya, menghentikannya dari kegiatan menulisnya itu.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 1)

Manik Leona membulat sempurna. Arwah, Leona baru saja melihat arwah dari jiwa karakter fiksi yang ia tulis.
Ia tidak tahu kemampuan abnormalnya sebagai penulis bisa aktif saat itu juga.

Ia sadar, karakter yang ia tulis benar-benar tidak merestuinya untuk melanjutkan tulisan tersebut.

Dalam rasa takut dan terkejutnya, perlahan ia menoleh pada sosok tersebut.

Ia mendapati tatapan dari sosok pria jangkung yang berbeda dunia dengannya itu. Tatapan penuh kekecewaan dan keputusasaan. Leona dapat melihatnya.

Keduanya terdiam untuk beberapa saat, saling menatap dalam kekecewaan dan rasa bersalah pada manik padam Leona.

“Kau keluar dari ceritaku karena kau kecewa padaku, pada jalan cerita yang aku tulis, bukan?” tanya Leona pada sosok itu. “Kau tidak merestuiku untuk menulis, bukan?”

“Katakan saja padaku, Alecdora.” pinta Leona pada sosok tersebut.

“Apa kau akan terus membenciku seperti ini?”

Sosok tersebut tiba-tiba memudar, tidak menjawab satu pun pertanyaan yang Leona ajukan padanya.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 2)

Leona yang sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan langsung membulatkan matanya dan mengerat rahangnya, tahu apa yang akan terjadi.

Leona spontan berdiri. Namun karena sudah terlalu lama duduk, rasa pusing dan kunang-kunang langsung menggerogoti kepala dan indera penglihatannya.

Ia pun terjatuh ke lantai kayu yang dingin. Napasnya berat dan tak beraturan.

Setelah ia tenang, setetes kristal air jatuh dari sudut matanya. “Alecdora, kalau kau memang tidak merestuiku untuk menulis, biarlah begitu.

Jangan kau ganggu tepian dekat dan menganggu semua orang,” pinta Leona.

“Itu hanya kisah pelarianku dari kenyataan. Aku ini sangat egois dan tidak tahu diri.

Aku mulai kehabisan waktu,” lirihnya dalam hati.

Sejak malam itu, badai angin mulai menerpa kota. Leona tidak bisa menghentikan sosok Alecdora yang kabur dari lembaran ceritanya itu.

Alecdora bisa semakin menggila dan menghancurkan keseimbangan tepian dekat.

Karena kesalahan Leona dalam menulis itulah kekacauan dan bencana di kota terjadi.

Mereka percaya bahwa Dewa Bencana yang menetap di Danau Malam di dekat Kuil Ramalan sedang mengamuk.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 3)

Pada dasarnya, Leona memang menciptakan Alecdora sebagai putra Dewa Bencana penunggu Danau Keputusasaan yang ia tulis.

Karena itu sosok Alecdora bisa menurunkan badai angin sebesar itu.

“Hentikan, Alecdora…” lirihnya.

Bersambung..***

Editor: Brilliant Awal


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah