Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 13)

- 3 Maret 2021, 09:26 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Ruby yang sebelumnya tak sadarkan dirimu pun akhirnya bangun.

Felix menjelaskan bahwa Ruby bisa pingsan karena tidak menjaga pola makannya dan karena darah rendahnya.

Di sisi lain, Felix juga mengungkapkan bahwa Ruby merindukan rumahnya asalnya karena Ruby yang terus menggumamkan kata-kata yang tidak jelas dalam tidurnya.
Tapi, Ruby tiba-tiba bertanya tentang sesuatu yang tidak terduga.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Felix,” panggil Ruby, membuat pemuda itu menoleh. “Kamu percaya gak sama yang namanya Benang Merah Takdir?”

“Hah?! Kamu umur berapa? Nanya sesuatu yang fiksi gitu,” tutur Felix dengan nada omelannya. Namun, Felix langsung mengerutkan keningnya saat melihat bagimana manik Ruby melukiskan kesedihan.

“Ya, bukannya aku gak percaya, sih. Aku gak terlalu ngerti sama konsep kayak gitu. Kayaknya, di konsep Benang Merah Takdir, cuman laki-laki yang diberatkan tugasnya.”

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 3)

“Hm,” jawab Ruby singkat. “Orangtua aku selalu percaya sama konsep ini. Kapan kita lahir, kapan kita mati, sebanyak apa harta yang bakal kita punya, apa yang bakal kita hadapin, bahkan siapa belahan jiwa kita. Semuanya ditentuin sama konsep semacam ini,” tutur Ruby pelan.

Felix menatap Ruby. “Gak peduli sejauh apa, dua insan bakal dipertemukan kalau memang benang merah di jari kelingking mereka udah seharusnya nyambung,” lanjut Felix, menguraikan konsep Benang Merah Takdir yang ia tahu.

Ruby terkekeh kecil.

“Benang merah gak akan kesambung kalau benang satu laginya gak sesuai. Itu kata ayahku. Justru aku takut sama konsep yang kayak gitu. Gimana kalau aku jatuh cinta sama seseorang yang gak seharusnya?” tanya Ruby dengan senyuman menyedihkannya.

Felix ikut terkekeh. “Ayah sama ibu kamu kayaknya punya hubungan cinta yang romantis banget. Kayak di novel yang kita tulis di proyek sekarang,” kekehnya.

“Atau jangan-jangan, buku pertama yang kita tulis, yang judulnya Red Thread of Fate, itu adaptasi kisah cinta ayah sama ibu kamu?!” tebak Felix.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 4)

Ruby hanya mengangguk. “Itu jadi salah satu alasan kenapa aku pengen ketiga novel kita didistribusiin ke luar Australia.”

“Soal itu,” Felix langsung menoleh saat ia mendengar suara Ruby. “Aku selalu takut sama konsep Benang Merah Takdir,” Ruby terkekeh dengan mirisnya.

“Sejak SMP, sejak aku paham sama konsep kayak gini, aku selalu mikir, siapa orang yang nantinya mau nyambungin benang merahnya sama aku?”

“Aku pernah jatuh cinta sama seseorang selama masa SMA, tapi semuanya berakhir gitu aja. Apa itu namanya ikatan palsu? Apa benang merah aku sama orang itu gak cocok? Terus buat apa? Apa aku cuman buang-buang waktu buat orang yang gak seharusnya?” tanya Ruby pada dirinya sendiri.

Manik Felix tiba-tiba menatap Ruby halus dan mendengarkan segala keluh dan kesah sahabatnya itu.

“Salah satu alasan kenapa aku bisa sampai ngelamun pas pertama kali ketemu kamu, bukan hanya karena penampilan kamu yang gak sesuai sama suara kamu.”

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 5)

“Woy!” sergap Felix. Namun, keduanya malah terkekeh.

“Aku ngelamun karena ada sesuatu yang familiar di hati aku, entah apa itu. Ada perasaan dalam hati aku yang bilang, ‘oh, suatu hari nanti, aku bakal bilang kalau aku bersyukur bisa ketemu laki-laki ini,’ dan begitulah."
 
"Aku yang selalu percaya sama konsep Benang Merah Takdir pun mikir, apa ini yang namanya benang merah takdir? Tapi aku gak pernah berani bilang. Apalagi, posisi kamu waktu kita pertama ketemu, kamu lagi pacaran sama Anastasya,” curhat Ruby lagi.

Senyuman, tawa, dan kejahilan Felix beberapa tahun yang lalu, saat Ruby baru pertama kali datang ke Australia kembali berputar di pikirannya. Ia mengerat tangannya. Hatinya terasa berat.

“Aku selalu mikir, kalau sifat dingin kamu yang sekarang juga bagian dari cara benang merah takdir kamu nyatuin kamu sama benang merah lain,” tutur Ruby.

“Entah itu sama orang lain atau bukan,” lirih Ruby pelan.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 6)

Ada kesedihan dalam nada lirihan tersebut. Felix bisa mendengarnya sendiri.

Felix menyadari tubuh Ruby bergetar. Ia ingin segera menangkup Ruby dan menenangkan wanita muda itu.

Namun, ia juga ingin mendengar Ruby menyelesaikan ceritanya.

“Aku gak keberatan kalau aku harus nunggu. Selama apa pun, aku gak masalah buat nunggu lebih lama cuman buat tahu benang siapa yang bakal nyambung sama benang di kelingkingku. Itu kodrat aku sebagai perempuan, kan? Aku cuman perlu nunggu sampai seseorang yang pas ngiketin benang merahnya ke benangku,” ujar Ruby dengan nada yang sedikit terisak.

“Tapi, a-aku…” salah satu tangan Ruby mengerat atasan pakaian yang ia kenakan, berharap sesak di dadanya bisa hilang. Senyuman manis Rose tiba-tiba terbayang dipikiran.

“Aku takut buat ngeliat hari dimana kamu ketemu sama orang yang pas buat kamu, hari dimana kamu ketemu sama orang yang udah benang merah kamu tentuin.”

“Aku takut…”

Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x