Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 14)

- 4 Maret 2021, 08:36 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Ruby bertanya tentang arti Benang Merah Takdir.

Di sisi lain, Ruby ketakutan dengan siapa ia akan terhubung dengan benang semacam itu nantinya, mengingat orangtuanya selalu percaya pada konsep seperti ini.

Namun, setelah Rose mengungkapkan perasaannya melalui Ruby, ia menyadari bahwa ia sebenarnya takut kehilangan Felix.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“Aku gak keberatan kalau aku harus nunggu. Selama apa pun, aku gak masalah buat nunggu lebih lama cuman buat tahu benang siapa yang bakal nyambung sama benang di kelingkingku."

Itu kodrat aku sebagai perempuan, kan? Aku cuman perlu nunggu sampai seseorang yang pas ngiketin benang merahnya ke benangku,” ujar Ruby dengan nada yang sedikit terisak.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 4)

“Tapi, a-aku…” salah satu tangan Ruby mengerat atasan pakaian yang ia kenakan, berharap sesak di dadanya bisa hilang. Senyuman manis Rose tiba-tiba terbayang dipikiran.

“Aku takut buat ngeliat hari dimana kamu ketemu sama orang yang pas buat kamu, hari dimana kamu ketemu sama orang yang udah benang merah kamu tentuin. Aku takut-”

“Ruby,” panggil Felix, seraya menarik tangan Ruby yang sebelumnya mengerat pakaiannya.

“Felix, jangan. Aku-”

“Ruby, denger!” pinta Felix.

“Ha-“

Felix menarik Ruby ke pelukannya. Ia mendekap Ruby ke dadanya, membiarkan Ruby mencium aroma musk and spice-nya, memberi tahu Ruby bahwa ia ada di dekatnya.

Saat itu pun, tangisan Ruby pecah. “Aku takut,” isak Ruby.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 5)

“Aku takut gak bisa ngelepas kamu. Apa perasaan kayak gini salah? Aku gak tahu apa yang salah sama perasaan aku. Aku gak paham,” lirih Felix.

Felix berdiam diri dalam posisi tersebut untuk beberapa saat. Tangan kanannya mengusap kepala Ruby.

Namun, tangan kirinya menggapai tangan kanan Ruby. Felix menggenggam tangan Ruby erat.

“Entah kamu inget atau gak, tadi pagi aku sempet bilang gini. Mau kamu kesel sama aku, mau kamu bosen sama kehadiran aku, atau mau aku yang bikin kamu nangis."

"kamu gak akan jauh dari aku. Kalau di situ ada aku biasanya ada kamu juga’.  Dan asal kamu tahu aja, aku gak main-main sama kata-kata aku itu.”

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 6)

“Eh?” bingung Ruby yang masih terisak.

Baru saja Ruby berniat menarik dirinya sendiri dari pelukan sahabatnya, Felix langsung mendorong kepala Ruby kembali ke ceruk lehernya.

“Sebentar, aku belum selesai ngomong!” tutur Felix yang jelas kembali membuat Ruby kebingungan.

“Aku gak tahu kemana atau ke siapa benang merah aku bakal nyambung. Tapi sampai kita berdua ketemu sama orang itu, aku gak akan kemana-mana. Aku bakal terus sama kamu dan gak akan ninggalin kamu,” janji Felix, membuat Ruby kembali ingin menangis.

Felix menarik dirinya sendiri untuk melihat manik cokelat Ruby.

“Lagian, ngapain juga khawatirin masa depan kalau kita masih bisa jalanin masa kini?” pemuda itu mengusap pipi Ruby.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 7)

“Aku gak peduli sama siapa aku nanti. Aku masih bisa jalanin masa kini sama kamu. Kayak yang iya aja aku bakal dengerin apa kata takdir.”

Felix tiba-tiba mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Ruby, menandakan suatu ikatan dan janji. Ia mengangkat jemarinya itu.

“Jadi, gak perlu khawatir sama hal yang gak-gak, ya?” tanya Felix.

Ruby pun mengangguk dan mengusap air matanya sendiri.

“Oh, tetes infusnya udah habis,” gumam Felix.

“Hm?” Ruby langsung menatap selang yang terhambung di tangannya.

“Kalau gitu, tunggu sebentar. Aku bakal panggilin anak kesehatan lagi buat nyabut imfusnya.” Ruby pun hanya bisa mengangguk. Dengan itu, Felix meninggalkan ruang klub sastra dan bahasa, meninggalkan Ruby sendirian.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 8)

Tapi tiba-tiba saja, kenyataan kembali menghantam Ruby. Setelah Felix menenangkan Ruby dengan kalimat-kalimatnya tadi, pertanyaan yang sebelumnya ada di kepala Ruby kembali.

Ruby menyentuh dadanya saat merasakan sesak dari rasa penasaran itu.

“Apa yang bikin Rose sedih setelah ketemu Felix tadi pagi?” lirih Ruby.

Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah