Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 23)

- 13 Maret 2021, 09:40 WIB
 Pemandangan Sydney Opera House di Australia.
Pemandangan Sydney Opera House di Australia. /Unsplash/Johnny Balla/


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, hari yang Ruby takutkan datang. Hari dimana benang merah milik orang yang paling ia lindungi tersambung dengan benang merah milik orang lain.

Ruby yang tidak tahan melihatnya pun segera pergi. Di sisi lain, Felix tidak menerima pernyataan cinta itu. Namun, hatinya dibuat terkejut dan ketakutan saat ia tahu Ruby akan pergi darinya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Felix mempercepat mobilnya menuju Bandar Udara Sydney. Ia harus masih bisa bersyukur karena lalu lintas jalanan Sydney yang tidak begitu padat.

Selama perjalanan, ia tidak mampu berhenti mengumpat dan mengutuk dirinya sendiri karena rasa bersalah. “Jangan sekarang, Ruby! Gak secepet ini!” geram Felix.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 14)

Tidak perlu lebih dari lima belas menit, sesampainya di sana Felix langsung mencari Ruby di antara luas dan ramainya Bandara Sydney. Kepanikan mulai membasuh hatinya saat ia mendengar penerbangan dari Sydney menuju Indonesia akan segera lepas landas.

Namun, di dekat gerbang terminal satu, ia melihat sosok yang sangat ia kenali. Instingnya meyakinkan Felix bahwa sosok itu adalah Ruby. Tanpa basa-basi, Felix langsung menarik napasnya dalam-dalam.

“Hm, hati-hati, Om Nizar,” tutur Ruby.

“Kamu gak apa-apa?” tanya Professor Nizar yang sadar akan ekspresi sedih Ruby.
Ruby hanya mengangguk dan tersenyum. “Ruby gak apa, kok! Salam buat Tante Nao, ya?”

Baru saja Professor Nizar berniat untuk berbalik, “Ruby!!!” seseorang memanggil Ruby dengan suara yang lantang, membuat Ruby dan Professor Nizar tersentak.

Sesaat setelah Ruby berbalik, bandara yang ramai langsung terasa hening.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 15)

“Felix?” bingung Ruby. Tapi tidak lama, Ruby langsung merasa Felix mendekap tubuhnya.

Bagi Felix, kemana pun Ruby pergi, ia pasti akan selalu menemukannya. Meski begitu, Felix tidak bisa berdiam diri saat Ruby pergi tanpa berpamitan dengannya.

Pelukan itu tersebut terasa menyakitkan bagi Ruby. Apalagi, ia baru saja melihat Rose menyatakan cintanya pada Felix.

“J-jangan, Felix!” pinta Ruby yang berusaha untuk mendorong Felix dari pelukan tersebut.

“R-Rose bakal…” ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Ruby ingin melepas pelukan itu, tapi Felix tidak mau melepasnya dan malah mempererat pelukannya. Ruby mengerat kaus hitam yang Felix kenakan.

Suara napas Felix masih terengah. “Ruby,” lirihnya tepat di telinga Ruby.
“Felix,” lirih Ruby, membalas panggilan itu.

“Jangan pergi… jangan pergi! Jangan dulu pergi! Jangan tinggalin kita, jangan tinggalin aku!” pinta Felix.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 16)

Ruby bisa mendengar tangisannya yang mulai pecah.

“Felix,” lirih Ruby lagi. “Jangan ngulang kalimat. Aku denger kamu, kok.” Ruby tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Kalau gitu, jangan kemana-mana! Tetep tinggal di Sydney bareng kita!”

Semua terasa hening setelah pemintaan lantang itu. Ruby menghela napasnya yang bergetar karena menahan tangis. “Felix, aku gak akan kemana-mana,” lirih Ruby. “Aku cuman mau nganterin Professor Nizar.”

“Hah?!” Ruby mendengar sentakan dari Felix. Namun, ia langsung merasa pelukan Felix semakin erat dan Felix yang setengah menangis pun menghela napasnya dalam kelegaan.

“Cukup Olivia aja yang jauh. Jangan tinggalin aku,” pinta Felix lagi. Ruby pun mengangguk.

Baca Juga: Benang Merah: Harapan dan Keistimewaan (Chapter 17)

Tidak lama, suara pengingat jadwal penerbangan pun kembali terdengar. Professor Nizar pun tersenyum dan menatap Ruby.

“Nia, apa ini jadi tanda kalau putri pertama kamu bakal ketemu sama benang yang cocok sama dia?” pikir Professor Nizar dalam hati. Tapi, ia langsung menggelengkan kepalanya.

“Ruby, saya duluan, ya?” pamit Professor Nizar.

“Iya, hati-hati,” ucap Ruby seraya melambaikan tangannya. Felix melepas pelukannya. Namun, ia masih menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Ruby dari belakang.

Sebelum pergi, Nizar menatap putri mantan kekasihnya itu seraya menyeringai. “Semoga… hubungan percintaanmu juga berjalan lancar.”

Sebelum Ruby bisa menjawabnya, Nizar meninggalkan Ruby dalam keterkejutan. “Hubungan… percintaanku?” bingung Ruby di tengah ramainya bandara.

Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah