Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 39)

- 13 Juni 2021, 09:58 WIB
GUNUNG Fuji.*
GUNUNG Fuji.* /PIXABAY



GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, meski dalam keadaan sekarat akibat anggur merah beracun buatan Ieyasu, Tsukiyama masih mampu mengucapkan kalimat terakhirnya pada Ieyasu.

Dan saat itupun malaikat maut memisahkan nyawa Tsukiyama dari tubuhnya.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

“IBUNDA!!!” teriakan Putri Kame menggema ke seluruh danau. Keheningan menggaungkan suara teriakan tersebut.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 29)

Angin danau membawa aroma darah dari Pedang Muramasa yang baru saja memenggal kepala Tsukiyama.

Putri Ofu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Perutnya mulai terasa mual saat indera penciumannya menangkap aroma darah. Ditambah lagi, pemandangan di hadapannya sangat-sangat sadis dan menjijikan.

Ujinao segera merangkul istrinya tersebut ke pelukannya seraya menghalangi pemandangan tidak mengenakan di hadapan mereka dari sang istri. Sementara itu, air mata sudah mengalir deras ke pipi Putri Ofu.

Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara isakan. “Mengerikan,” lirih Putri Ofu dalam isakannya. “Ini sangat mengerikan!”

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 30)

Meski bukan ibu kandungnya, Putri Ofu tetap tahu apa yang akan dirasakan oleh kedua kakak seayahnya.

Ia terus membayangkan apa yang akan ia rasakan jika orang yang baru saja dipenggal adalah ibunya, bukan Tsukiyama.

Ujinao mempererat pelukannya pada Putri Ofu.

“Biarkan ini menjadi pelajaran juga untukmu. Kau tidak boleh menyatukan permainan cinta saat sedang melawan sang tiran,” gumamnya pelan, cukup terdengar hanya oleh Putri Ofu.

Putri kedua Ieyasu itu pun menganggukan kepalanya, tidak mampu menjawab dengan kata-kata.

DAPP!! “Tuan Nobuyasu!” dua pengikut Ieyasu yang berada di dekat Nobuyasu segera menahannya yang hampir terjatuh ke tanah.

Kedua kaki Nobuyasu sudah tidak mampu menopang tubuhnya lagi. “Bertahanlah sebentar lagi, Tuanku!” pinta salah satu pengikut ayahnya itu.

Air mata meluncur bebas dengan derasnya ke pipi Nobuyasu. “Dia sudah pergi,” lirihnya dengan penuh penyesalan.

“Ibunda sudah pergi dan itu semua karenaku,” isak Nobuyasu di antara tangisannya.

Nobuyasu mengangkat pandangannya untuk melihat adiknya dari kejauhan. “Bagaimana dengan Kame?” tanyanya.

“Tuan Nobumasa bersamanya,” lapor salah satu pengikut tersebut.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 31)

Dari kejauhan, Nobuyasu bisa melihat bagaimana adiknya menangis dalam pelukan Nobumasa.

Meski sudah tidak merusuh lagi, Nobuyasu masih bisa melihat bagaimana beberapa pengawal berjaga di sekitar Nobumasa dan Putri Kame.

Melihat suaminya yang sudah tidak mampu berdiri dengan tegak, Putri Toku menundukan kepalanya. “Apa suamiku akan membenciku sekarang?” tanyanya.

“Kau menyesalinya?” tanya Nobunaga pada sang putri.

“Aku telah membunuh ibunya, mertuaku sendiri. Kalau pun ia tidak akan menceraikanku karena kepentingan aliansi, apa dia masih bisa mencintaiku?” pertanyaan sang ayah kembali ia jawab dengan pertanyaan.

Nobunaga terdiam dan mengalihkan pandangannya pada mayat Tsukiyama yang mulai mendingin.

“Daripada masalah cinta atau tidak, aku rasa akan ada hal yang lebih buruk terjadi pada suamimu. Sesuatu yang lebih buruk dari apa yang kau bayangkan, Gotoku.”

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 32)

Putri Toku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata ayahnya itu. “Mungkin,” lirihnya pelan.

Sementara itu, manik Ieyasu yang sudah padam akan rasa sakit membulat sempurna.
Manik-manik indahnya berusaha menelaah kejadian tragis yang terjadi pada Tsukiyama. Ia mulai menyisir pemandangan di hadapannya.

Ieyasu dapat melihat surai benang Tsukiyama yang terpotong dan tergeletak, berserakan di tanah dekat tubuhnya.

Matanya menyisir kemana darah Tsukiyama mengalir dan di sanalah pandangan Ieyasu terhenti. Ia menatap kepala Tsukiyama yang sudah terputus dari tubuhnya.

Ieyasu ingin tumbang, namun ia harus tetap bertahan. Apalagi, Nobunaga sedang ada di sekitarnya.

Ia tidak bisa menghancurkan citranya dan malah menghancurkan aliansi, menyia-nyiakan kematian Tsukiyama.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 33)

Ieyasu menghela napasnya yang bergetar dan berlirih, “dia sudah mati…”

Di Istana Tokugawa, suara tangisan Hidetada terdengar lebih nyaring, mengingat istana memang sedang sepi.

Nyonya Saigo berusaha semampunya untuk membuat bayinya itu berhenti menangis. Beberapa pelayan sudah membawakannya segala hal yang bisa membuat Hidetada diam, namun semua itu nihil. Hidetada tidak mau berhenti menangis.

Nyonya Saigo memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya menatap ke luar jendela ruangannya. Kesedihan terlukis jelas dalam manik indahnya.

“Semoga kau terbebas dari segala penderitaanmu dan bisa beristirahat dengan tenang…”

“… Ayunda Tsukiyama.”

Apa yang sejarah katakan tentang kematian istri sah dari Tokugawa Ieyasu?

Pada Minggu, 9 September 1579, di Danau Sanaru, Hamamatsu, Provinsi Totomi, Jepang, atas tuduhan berkhianat pada aliansi.

Baca Juga: Lagu Pengantar Tidur Ibu (Chapter 34)

bersekongkol dengan musuh untuk menggulingkan kekuasaan Oda Nobunaga, istri sah dari Tokugawa Ieyasu, Nyonya Tsukiyama dijatuhi hukuman mati demi kebaikan aliansi dan Jepang itu sendiri.

Itulah yang sejarah katakan tentang kematiannya.

Editor: Brilliant Awal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x