Mereka yang Kau Tulis (Chapter 12)

- 1 Februari 2021, 07:30 WIB
Ilustrasi menulis.
Ilustrasi menulis. /StockSnap/pixabay.com/stocksnap


GALAJABAR - Pada chapter sebelumnya dikisahkan, Leona mengungkapkan segela rasa takut dan kesalnya pada sosok Alecdora yang ia tulis sendiri.

Namun di sisi lain lagi, Alaecdora memberitahu apa keinginannya yang sesungguhnya.

Alecdora ingin kebahagiaan untuknya, untuk pasangannya dalam cerita itu, dan untuk Leona sebagai penulisnya.
Badai masih tidak mau berhenti sementara wawancara pernikahan Leona akan digelar dalam waktu dekat.

Ikuti cerita bersambung karya Sadrina Suhendra selanjutnya.

Leon mengetuk pintu kamar Leona. Ia yang tidak mendapatkan jawaban dari kakak perempuannya itu pun langsung membuka pintu kamar tersebut.

“Ayunda, aku mas-”

“Anakku, tersenyumlah.

Jangan menangis.

Buang semua keresahanmu.

Jangan kau takut, ‘ku kan menjagamu.”

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 1)

Leon terhenti saat ia mendengar Leona mengalunkan sebuah lagu yang terdengar seperti lagu pengantar tidur. Ia terdiam bagai terhipnotis oleh suaranya itu.

“Aku ‘kan menjagamu, mencintaimu.

Ulurkan tangan kecilmu.

Dan buat masa depanmu cerah.”

Leona terhenti. Ia merasa seseorang sedang memperhatikannya.

Ia pun berbalik. Dan benar saja, “Leon?!” kaget Leona yang mendapati adiknya sudah berdiri kaku di dekat pintu kamarnya.

“Sejak kapan kau ada di situ?!”

“A-ah, iya. Aku mau mengantar teh dan obat demammu,” lapor Leon yang langsung menyimpan nampan yang ia bawa di atas nakas.

Ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Leona. Ia pun menarik kursi untuk duduk.

Leona menghampirinya dan mendudukan dirinya di tepian kasur.

“Barusan kau mungkin berpikir aku orang aneh karena bernyanyi sendirian sambil menatap kosong badai,” kekeh Leona pada dirinya sendri.

“T-tidak juga!” tegas Leon.

Leona mengambil cangkir berisikan teh jahenya itu. Ia mulai mengusap tangannya pada cangkir tersebut, memindahkan kehangatan pada kulitnya.

Ia pun menyeruput teh itu perlahan.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 2)

“Jadi, Alecdora kabur lagi dari kertasmu?” tanya Leon setelah Leona menceritakan apa yang terjadi dan menjelaskan kenapa ia bernyanyi seperti orang aneh begitu.

Leona mengangguk. “Alecdora adalah wujud roh agung, putra dari Dewa Bencana. Karena itu pusat badai ini ada di Danau Malam. Karena pada dasarnya, Kuil Ramalan ada di sana, di tempat ayahnya,” jelas Leona.

“Kau pasti sudah membaca sedikit, ‘kan?”

“Eh?!” kaget Leon. “Tidak- maksudku, maafkan aku!”

Leona terkekeh. “Tidak apa, kok!” jelasnya. Tapi, senyum pada wajah Leona langsung memudar.

“Dia hanya punya satu keinginan. Dia menginginkan kebahagiaan untuknya dan untukku sebagai karakter yang aku tulis sendiri, mengingat aku menggunakan sudut pandang orang pertama.

Namun dalam cerita itu, jika aku dan Alecdora bersama, Dewa Bencana akan murka karena makhluk tepian dekat harusnya tidak bersama dengan makhluk dari tepian jauh,” jelas Leona.

“Tapi, Alecdora malah mengamuk dan menciptakan badai angin yang lebih besar dari yang ayahnya janjikan jika memang mereka bersama?” Leon agak sedikit kebingungan.

“Ada satu hal lagi yang sebenarnya ia inginkan,” Leona memberitahu.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 3)

Ia menunduk. “Ia ingin aku juga bahagia sebagai penulisnya. Melihat bagaimana aku menulis kisah tragis untuknya, itu sangat menyiksa hatinya. Tapi kalau aku pikir-pikir, cerita itu akan terus berjalan jika aku memang dalam kondisi baik saat menulisnya."

"Buktinya, Ibunda banyak menulis novel tragis namun beliau masih direstui oleh mereka yang ia tulis. Atau mungkin,” Leona tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Atau mungkin karena Ayunda menulisnya dalam sudut pandang orang pertama!” Leon membantumu menyelesaikan kalimatnya yang tidak selesai.

“Karena Ayunda adalah karakter utama perempuan dalam cerita itu, jadi satu-satunya cara agar penulisnya bahagia adalah menulis cerita yang sama bahagianya.
Karena itu Alecdora tidak merestui cerita tragis yang Ayunda tulis dan bersih keras ingin dipersatukan denganmu, denga putri dari tepian dekat!”

Leona terkejut saat Leon berhasil mengatakan apa yang selama ini mengganjal dan rumit untuk hatinya ungkapkan. Ia pun terkekeh miris dan memijat pelipisnya.

“A-Ayunda, kau tak apa?!” panik Leon.

Leona tersenyum padanya. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Leon.”

“A-aku tidak melakukan apa pun yang pantas untuk mendapatkan terima kasih,” gumam Leon yang nampaknya masih bingung.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 4)

Leona menyeruput lagi tehnya yang mulai mendingin. “Lagu tadi adalah lagu pengantar tidur dari novel Telaga Penyesalan milik Ibunda."

"Aku harap itu bisa sedikit menenangkan Alecdora dan mengurangi sedikit badai angin ini,” jelas Leona, menutup penjelasannya.

“Apa novel Ayunda tidak akan selesai jika Alecdora tidak kembali ke kertasmu?” tanya Leon.

Leona mengangguk. “Aku tidak bisa melanjutkan ceritaku jika ia tidak ada.”

Leon bisa melihat bagaimana manik Leona yang padam mulai menatap sayup keluar balkon jendelanya.

Ia bisa melihat cahaya api kecil dalam sorot tersebut seperti sedang berharap. Ya, Leona memang sedang berharap.

“Dia diciptakan dengan harapan bisa menghibur hatiku yang bersedih karena perjodohan kemarin,” jujur Leona.

Baca Juga: Mereka yang Kau Tulis (Chapter 5)

“Untuk saat ini, aku hanya ingin menyelesaikan masalahku dengan Alecdora, mengakhiri badai ini, dan melanjutkan cerita yang aku tulis. Aku hanya ingin dia kembali padaku.”

Waktu bagai terhenti bagi Leon. Baru kali ini ia mendengar kakaknya berharap sambil memohon seperti itu.
Kini ia tahu, beban seperti apa yang selalu ditanggung oleh para Penulis Hantu seperti Leona dan ibunya.

Bersambung...***

Editor: Brilliant Awal


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x